Dalam tradisi pernikahan adat Jawa, selain rangkaian upacara yang penuh makna, ada sejumlah pantangan atau larangan yang dipercayai harus dipatuhi oleh pasangan pengantin dan keluarganya. Pantangan-pantangan ini bukan sekadar aturan tanpa alasan, melainkan bagian dari kearifan lokal yang diwariskan turun-temurun. Memahami pantangan tersebut diyakini akan membawa kelancaran dalam perjalanan pernikahan, serta menghindari hal-hal yang tidak diinginkan dalam perjalanan rumah tangga di masa depan.
Setiap daerah di Jawa memiliki variasi adat yang berbeda-beda, tapi secara umum, pantangan-pantangan dalam pernikahan adat Jawa meliputi hal-hal yang berkaitan dengan waktu pelaksanaan upacara, jenis makanan yang disajikan, hingga perilaku yang harus dihindari oleh calon pengantin. Masyarakat Jawa percaya bahwa melanggar pantangan ini bisa membawa sial atau gangguan, baik bagi prosesi pernikahan maupun kehidupan rumah tangga kelak. Maka dari itu, penting bagi calon pengantin yang memilih menjalani pernikahan adat Jawa untuk mengetahui dan memahami pantangan tersebut.
Di dalam artikel berikut, V&Co Jewellery akan mengulas beberapa pantangan yang harus kamu ketahui sebelum menjalani pernikahan adat Jawa, agar prosesi pernikahanmu berjalan dengan lancar dan penuh berkah. Selamat membaca!
Pantangan dalam Pernikahan
Dalam prosesi pernikahan, ada banyak hal yang harus diperhatikan, dan salah satunya adalah menghindari pantangan-pantangan yang berkaitan dengan pernikahan tersebut. Di Indonesia, beberapa daerah memiliki keyakinan kuat terhadap pantangan pernikahan, yang dianggap sebagai bagian penting dari tradisi dan kepercayaan lokal.
Pantangan pernikahan ini biasanya berupa larangan atau aturan tidak tertulis yang harus dipatuhi oleh calon pengantin, dan umumnya berasal dari nasihat orang-orang terdahulu yang diwariskan dari generasi ke generasi. Masyarakat setempat meyakini bahwa pelanggaran terhadap pantangan ini bisa mendatangkan hal buruk atau musibah bagi pasangan yang akan menikah. Oleh sebab itu, pantangan pernikahan sering dianggap sebagai panduan yang harus dihormati demi menjaga kelancaran dan keberkahan pernikahan.
Seperti hukum yang berlaku di Indonesia, pantangan pernikahan berfungsi layaknya norma yang jika dilanggar dapat mendatangkan “sanksi” berupa kepercayaan akan terjadinya nasib buruk atau ketidakharmonisan dalam kehidupan rumah tangga nantinya. Meskipun tidak ada hukuman fisik yang dijatuhkan, kepercayaan masyarakat terhadap dampak pelanggaran pantangan tetap kuat, dan sanksi yang dimaksud biasanya bersifat sosial atau spiritual.
Pantangan-pantangan ini beragam, dan bergantung pada adat atau budaya yang berlaku di setiap daerah. Meskipun zaman telah berubah, banyak orang yang masih menjunjung tinggi dan mengikuti aturan-aturan ini dengan penuh kesadaran sebagai bentuk penghormatan terhadap tradisi leluhur serta untuk menjaga keharmonisan dalam pernikahan. Lalu, apa saja pantangan atau larangan dalam tradisi pernikahan adat Jawa yang masih diyakini oleh banyak masyarakat?
Ngalor Ngulon
Tradisi Ngalor Ngulon merupakan salah satu bentuk larangan pernikahan yang dianut oleh sebagian masyarakat, di mana pernikahan dilarang untuk dilangsungkan jika arah rumah calon mempelai laki-laki menuju ke rumah calon mempelai perempuan berada pada jalur Ngalor Ngulon.
Dalam hal ini, seorang laki-laki tidak diizinkan untuk menikahi seorang perempuan jika rute yang dilalui dari rumahnya menuju rumah calon mempelai perempuan mengarah ke utara terlebih dahulu, lalu berbelok ke arah barat. Jika digambarkan dengan garis lurus, rute tersebut bergerak dari selatan ke utara dan kemudian menyimpang ke barat. Pernikahan yang mengikuti arah tersebut dianggap bertentangan dengan adat yang berlaku dan tidak diperkenankan untuk dilaksanakan.
Kepercayaan adat ini menyatakan bahwa jika pantangan Ngalor Ngulon tetap dilanggar dan pernikahan tetap berlangsung, kehidupan rumah tangga pasangan tersebut diyakini akan dilanda malapetaka. Pantangan ini mengandung keyakinan bahwa pelanggaran terhadap arah yang dilarang dalam tradisi tersebut dapat mengakibatkan kesulitan dalam hal materi atau ekonomi bagi keluarga yang bersangkutan.
Lebih dari itu, pantangan ini juga sering dikaitkan dengan risiko kematian, di mana salah satu anggota keluarga dipercaya bisa meninggal dunia akibat pelanggaran terhadap larangan Ngalor Ngulon. Oleh karena itu, tradisi ini dijunjung tinggi oleh masyarakat yang meyakininya, sebagai upaya untuk menghindari bencana atau nasib buruk dalam kehidupan rumah tangga pasca pernikahan.
Rumah Berhadapan
Di beberapa daerah, terutama di Jawa Timur, ada larangan untuk menikah jika posisi rumah kedua calon mempelai saling berhadapan. Keyakinan ini berasal dari kepercayaan bahwa pernikahan yang terjadi dalam kondisi tersebut bisa mendatangkan berbagai masalah dan kesulitan dalam kehidupan rumah tangga pasangan tersebut. Diyakini bahwa keberadaan rumah yang berhadapan bisa menimbulkan energi negatif dan ketegangan, yang berdampak buruk pada hubungan suami istri.
Jika kedua calon mempelai tetap ingin melangsungkan pernikahan meskipun rumah mereka saling berhadapan, ada beberapa solusi yang biasanya diambil. Salah satunya adalah dengan melakukan renovasi pada salah satu rumah calon mempelai sehingga posisinya tidak lagi berhadapan. Alternatif lainnya adalah dengan memindahkan salah satu calon mempelai dari keluarganya, di mana mereka akan diangkat oleh kerabat yang rumahnya tidak berhadapan dengan calon mempelai lainnya.
Menikah di Bulan Suro
Bulan Suro, yang merupakan bulan pertama dalam penanggalan Jawa, memiliki kedudukan istimewa dan dianggap sangat mulia serta sakral oleh masyarakat di sana. Karena sakral, banyak orang Jawa merasa tidak pantas untuk mengadakan kegiatan besar seperti pernikahan atau hajatan di bulan ini.
Keyakinan ini didasarkan pada anggapan bahwa bulan Suro lebih tepat digunakan untuk upacara-upacara yang dilakukan oleh keraton atau kegiatan adat yang berhubungan dengan spiritualitas dan kebesaran budaya. Sedangkan bagi orang biasa, diyakini bahwa mereka sebaiknya menahan diri dan menghindari acara-acara tertentu yang bersifat meriah atau besar selama bulan ini.
Ada juga yang berpendapat bahwa bulan Suro dianggap sebagai bulan yang kurang baik untuk melangsungkan pernikahan, karena bisa membawa kesulitan atau kemalangan dalam kehidupan rumah tangga. Masyarakat percaya bahwa melanggar pantangan ini bisa mengakibatkan berbagai rintangan dalam kehidupan pasangan yang menikah, seperti kesulitan ekonomi atau hambatan dalam meraih kebahagiaan.
Selain itu, pasangan yang menikah di bulan Suro dipercaya berisiko menghadapi banyak pertengkaran dalam kehidupan rumah tangga mereka. Keyakinan ini menambah kekhawatiran bagi sebagian orang, sehingga banyak yang memilih untuk menunda atau menghindari pernikahan di bulan Suro demi menghindari kemungkinan datangnya konflik atau masalah yang berkelanjutan dalam hubungan mereka.
Kebo Mbalik Kandang
Secara sederhana, kebo balik kandang berarti kerbau yang kembali ke rumahnya. Dalam konteks pernikahan, istilah ini mengacu pada pernikahan antara pria atau wanita yang berasal dari desa tempat tinggal ibunya dengan pasangan yang berasal dari desa asal ayahnya, atau sebaliknya. Bagi masyarakat Jawa, pernikahan seperti ini dianggap melanggar adat dan dilarang.
Larangan ini muncul karena keyakinan bahwa pernikahan semacam itu bisa membuat hubungan keluarga menjadi rumit dan, jika tetap dilaksanakan, dipercaya akan membawa malapetaka bagi salah satu atau kedua keluarga mempelai. Dampaknya bisa dirasakan oleh orang tua dari kedua mempelai atau anggota keluarga lainnya, seperti saudara-saudara mereka.
Secara lebih rinci, adat ini melarang pernikahan jika orang tua mempelai laki-laki tinggal di luar desa asal ayahnya, sementara calon mempelai perempuan berasal dari desa yang sama dengan ayah mempelai laki-laki. Namun, larangan ini tidak berlaku jika calon mempelai perempuan berasal dari desa asal ibu mempelai laki-laki. Dalam hal ini, pihak laki-laki lebih dianggap sebagai pihak yang membawa benih (winih), sehingga desa asal ayah lebih menentukan larangan ini.
Kepercayaan ini telah menjadi bagian dari tradisi yang diwariskan dalam masyarakat Jawa dan diyakini bisa membawa bencana jika dilanggar. Hingga saat ini, adat ini masih dipatuhi sebagai bagian dari warisan budaya Jawa yang terus dijaga.
Siji Jejer Telu
Pernikahan siji jejer telu adalah istilah dalam tradisi Jawa yang merujuk pada situasi di mana kedua calon mempelai merupakan anak pertama dalam keluarga mereka, dan salah satu dari orang tua mereka juga merupakan anak pertama di keluarganya. Dalam kepercayaan masyarakat Jawa, pernikahan dengan formasi ini dianggap sebagai sesuatu yang harus dihindari karena diyakini bisa membawa dampak negatif bagi kehidupan rumah tangga pasangan tersebut.
Keyakinan ini menyebutkan bahwa jika pernikahan siji jejer telu tetap dilaksanakan, ada kemungkinan bahwa pernikahan tersebut tidak akan berlangsung bahagia. Masyarakat percaya bahwa pelanggaran terhadap pantangan ini bisa mengakibatkan berbagai rintangan, baik dalam hal hubungan emosional antara pasangan, maupun dalam kehidupan sehari-hari mereka.
Lebih jauh lagi, bagi sebagian orang, menikah dengan susunan ini dianggap sebagai tindakan yang melawan adat, dan bisa mendatangkan musibah atau malapetaka bagi pasangan maupun keluarga mereka. Malapetaka ini bisa berbentuk masalah dalam rumah tangga, ketidakstabilan ekonomi, atau bahkan bencana yang lebih besar bagi salah satu pihak.
Siji Jalu Telu
Jika siji jejer telu mengacu pada pertemuan antara anak pertama dari kedua keluarga, maka siji karo telu merujuk pada pernikahan yang terjadi antara anak pertama dan anak ketiga dalam keluarga. Hal ini dianggap pantangan bagi sebagian masyarakat karena diyakini bisa mendatangkan banyak cobaan dan masalah dalam kehidupan rumah tangga pasangan tersebut.
Kepercayaan ini berakar pada perbedaan karakter yang dianggap sangat mencolok antara anak pertama dan anak ketiga. Anak pertama biasanya dipandang memiliki sifat yang lebih serius, bertanggung jawab, dan cenderung konservatif karena posisi mereka sebagai pemimpin atau teladan dalam keluarga.
Di sisi lain, anak ketiga dipandang lebih bebas, santai, dan kurang terikat dengan aturan-aturan tradisional, sehingga dianggap memiliki karakter yang berbeda jauh dari anak pertama. Perbedaan sifat dan pendekatan hidup ini dipercaya bisa menimbulkan konflik dalam hubungan pernikahan, yang pada akhirnya berpotensi mengganggu keharmonisan rumah tangga.
Bagi masyarakat yang percaya, pernikahan siji karo telu sebaiknya dihindari karena perbedaan karakter yang tajam ini bisa menjadi sumber masalah di kemudian hari. Ada kekhawatiran bahwa pasangan akan lebih sering menghadapi tantangan dalam berkomunikasi, mengambil keputusan bersama, atau menyelesaikan konflik, yang bisa berdampak buruk pada kebahagiaan pernikahan mereka.
Perhitungan Weton
Yang terakhir dan paling penting adalah weton. Weton jodoh adalah konsep penting dalam budaya dan tradisi pernikahan di Jawa. Sebelum menikah, biasanya pasangan calon pengantin akan melakukan perhitungan weton untuk menentukan kecocokan mereka. Proses ini melibatkan analisis tanggal lahir masing-masing calon mempelai, di mana weton dihitung berdasarkan hari, tahun, dan tanggal lahir. Masyarakat Jawa percaya bahwa perhitungan weton bisa memberi petunjuk tentang keserasian pasangan tersebut.
Dalam adat Jawa, hasil perhitungan weton menjadi indikator penting untuk melihat apakah pasangan bisa menjalani rumah tangga dengan harmonis. Jika hasilnya cocok, itu dianggap pertanda baik yang menunjukkan kehidupan berumah tangga yang penuh kemudahan dan kebahagiaan. Sebaliknya, jika hasil perhitungannya tidak cocok, itu bisa menjadi tanda bahwa pernikahan mereka akan menghadapi berbagai masalah.
Beberapa orang Jawa berpendapat bahwa jika weton pasangan tidak cocok, sebaiknya pernikahan tidak dilanjutkan atau bahkan dibatalkan. Ini menunjukkan betapa pentingnya perhitungan weton dalam budaya Jawa, tidak hanya untuk pernikahan tapi juga untuk berbagai aspek kehidupan lainnya. Misalnya, weton sering digunakan untuk menentukan waktu yang tepat dalam melaksanakan acara penting, seperti upacara adat atau perayaan.
Dalam tradisi pernikahan adat Jawa, memahami dan menghormati pantangan yang ada adalah kunci untuk menjaga keharmonisan dan kesucian prosesi tersebut. Pantangan ini bukan sekadar aturan, tapi warisan budaya yang mengandung nilai-nilai luhur yang dijunjung tinggi oleh setiap pasangan dan keluarga. Kalau kamu sendiri bagaimana, apakah percaya dan akan mengikuti pantangan-pantangan di atas?
***
Cover | Foto: Uka Photography via Instagram/@weddingmarket_id