Pernikahan di dalam adat Jawa bukan hanya sekadar upacara sakral semata, melainkan juga sebuah rangkaian tradisi yang harus dijalani sebelum dan sesudah perayaan pernikahan. Salah satu tradisi yang menjadi sorotan adalah acara siraman.
Acara siraman di dalam pernikahan suku Jawa tidak bisa dianggap sepele, karena penuh dengan makna yang dapat diresapi oleh kedua pasangan yang akan menikah. Siraman juga bisa menjadi momen yang dapat meningkatkan pengetahuan dan keterikatan antara calon pengantin. Sejumlah prosesi, perlengkapan, dan partisipan turut ambil bagian dalam acara siraman ini, membentuk suatu upacara adat yang sarat akan simbolisme dan tradisi. Tak hanya memiliki makna filosofis, siraman adat Jawa juga menyimpan banyak makna religi yang diungkapkan melalui setiap prosesnya.
Melalui acara siraman, pasangan yang akan menikah dapat merasakan kedalaman makna filosofis dan spiritual yang terkandung di dalam tradisi ini. Oleh karena itu, tidak hanya sekedar mengikuti ritual, tetapi kamu juga harus memahami setiap makna dalam setiap urutan acara siraman. Apa saja di antaranya? Mari cari tau lebih lanjut melalui artikel berikut!
Pengertian Upacara Siraman Adat Jawa
Siraman merupakan salah satu ritual atau prosesi dari serangkaian acara pernikahan adat Jawa. Sesuai dengan namanya, siraman dalam tradisi pernikahan suku Jawa adalah prosesi memandikan calon pengantin, dimana kata “siraman” sendiri berasal dari bahasa Jawa yang berarti mandi. Dalam memandikan calon pengantin, air yang digunakan bukanlah air biasa, karena sudah dicampur dengan berbagai jenis bunga.
Makna dari mandi atau siraman dalam upacara pengantin adat Jawa mencakup dimensi yang lebih luas dari hanya sekadar membersihkan tubuh fisik saja. Proses ini menampilkan sebuah pemahaman yang mendalam bahwa siraman juga berfungsi sebagai sarana untuk membersihkan jiwa. Lebih dari sekadar mencuci noda dan kotoran pada tubuh, siraman diartikan sebagai ritual penyucian dari dosa, sifat-sifat buruk, dan segala kekurangan yang mungkin melekat pada diri calon pengantin.
Dengan membersihkan diri dari beban-beban rohaniah dan noda-noda dosa, pengantin diharapkan dapat memasuki kehidupan pernikahan dengan hati yang bersih dan suci. Ini menciptakan landasan spiritual yang kuat bagi kesinambungan hubungan pernikahan, memastikan bahwa langkah awal dalam perjalanan hidup bersama dilakukan dengan keadaan yang penuh berkah dan kesucian.
Pengaruh Siraman pada Fisik Calon Pengantin
Selain dimaknai secara rohaniah, upacara siraman juga memiliki dampak yang signifikan bagi fisik kedua calon pengantin. Beberapa dampak positif tersebut di antaranya:
1. Pemulihan Fisik
Siraman air, terutama ketika dilakukan dengan air yang segar, dapat memberikan efek penyegaran pada tubuh. Badan yang mungkin merasa lemah atau loyo dapat menjadi lebih bugar dan segar setelah terkena siraman air.
2. Pengaruh Indera Penciuman
Aroma dari bunga-bunga setaman yang tercampur dalam air siraman tidak hanya memberikan sensasi wangi yang menyenangkan, tetapi juga dapat memuaskan indra penciuman. Aroma bunga-bunga tersebut bisa memberikan suasana yang menenangkan dan efek relaksasi.
3. Pengaruh Indera Peraba
Siraman air yang menyapu tubuh dapat memberikan efek segar dan menyegarkan pada indra peraba. Sentuhan air yang dingin atau sejuk dapat meningkatkan kesadaran tubuh dan memberikan sensasi kesegaran.
4. Pengaruh Indera Penglihatan
Penambahan bunga-bunga yang beragam dalam air siraman menciptakan pemandangan yang indah dan memesona. Dengan diiringi musik gamelan, suasana menjadi lebih meriah dan indra penglihatan dapat menikmati keindahan visual yang ditawarkan oleh prosesi siraman.
5. Pengaruh Musik Gamelan
Musik gamelan yang menyertai prosesi siraman memiliki dampak psikologis yang positif. Iringan musik yang lembut dan tradisional dapat meredakan stres, menciptakan suasana yang tenang, dan membantu otak menjadi lebih rileks.
Dengan demikian, siraman tidak hanya mempengaruhi dimensi spiritual, tetapi juga memberikan manfaat secara fisik dan psikologis. Keseluruhan pengalaman ini bertujuan untuk menciptakan suasana yang positif dan membantu calon pengantin memasuki pernikahan dengan pikiran yang jernih, tubuh yang segar, dan hati yang tenang.
Waktu Pelaksanaan Upacara Siraman
Kepercayaan Turunnya Bidadari
Penentuan waktu prosesi siraman dalam tradisi Jawa juga harus dilakukan secara matang, dan mengikuti adat yang ada. Upacara siraman biasanya dilaksanakan pada rentang waktu antara pukul 10.00 hingga 15.00, dan dilaksanakan pada satu hari sebelum acara ijab kabul atau pemberkatan pernikahan. Waktu ini dianggap sebagai waktu terbaik untuk melakukan prosesi siraman, karena masyarakat Jawa meyakini pada saat itu adalah saat turunnya bidadari ke bumi untuk mandi.
Konsep turunnya bidadari ke bumi untuk mandi memiliki akar dalam kepercayaan dan tradisi Jawa yang sarat dengan makna spiritual. Dalam konteks ini, istilah “bidadari” merujuk pada makhluk gaib yang dipercayai memiliki keelokan dan keanggunan luar biasa. Dalam Al-Quran, makhluk serupa disebut sebagai “quran’in,” yang merupakan kata uniseks, demikian diungkapkan oleh M. Quraish Shihab dalam Tafsir Al-Misbah.
Dalam agama Islam sendiri, konsep bidadari atau quran’in ini memang tersaji dalam beberapa ayat Al-Quran, salah satunya terdapat dalam Surah Al-Waqiah ayat 22-23. Ayat-ayat tersebut menggambarkan bidadari yang memiliki mata yang indah dan besar seperti mutiara. Mereka dipandang sebagai makhluk yang suci, murni, bahkan tidak pernah terkena pengaruh buruk dari udara dan matahari. Analogi tentang kecantikan bidadari ini juga dijumpai dalam Surah As-Shaffat ayat 49, yang menggambarkan bahwa bidadari tersebut seperti telur burung unta, yang mencerminkan kelembutan yang sangat istimewa.
Berdasarkan konsep kepercayaan adat Jawa tentang bidadari yang melambangkan sifat kelembutan dan kesucian, maka siraman dijalankan pada waktu-waktu tertentu dalam rangkaian pernikahan. Proses siraman ini diharapkan menjadi kesempatan untuk calon pengantin agar menjadi lebih menawan dan berseri-seri, sebagaimana saat bidadari mandi. Melalui upacara siraman ini pula, pengantin diharapkan memperoleh keberkahan dan kesucian yang mencerminkan ketulusan dan kelembutan sebagaimana diibaratkan dalam ajaran Islam.
Baik untuk Kesehatan
Selain itu, waktu antara pukul 10.00 hingga 15.00 merupakan periode harian di mana pengaruh matahari sedang berada pada puncaknya. Saat inilah sinar matahari menjadi paling intens, menyajikan kondisi optimal untuk mendapatkan manfaat energi matahari. Dalam konteks persiapan prosesi ritual pernikahan yang panjang, mandi di udara terbuka pada rentang waktu tersebut diharapkan memberikan manfaat kesehatan dan kesejahteraan yang signifikan.
Mandi di bawah sinar matahari langsung dapat menjadi sumber alami vitamin D, yang penting untuk kesehatan tulang dan sistem kekebalan tubuh. Selain itu, paparan matahari pada kulit juga dapat merangsang produksi serotonin, zat kimia dalam otak yang berperan dalam meningkatkan mood dan semangat.
Dengan mandi di udara terbuka pada waktu paling terang ini, calon pengantin dapat menyerap energi positif dari matahari, memberikan dorongan semangat, dan meningkatkan stamina. Hal ini diharapkan dapat membantu mereka dalam menghadapi prosesi ritual pernikahan yang mungkin melelahkan secara fisik dan emosional.
Makna Religius Upacara Siraman
Dalam konteks agama Islam, istilah “siraman” tidak dikenal secara khusus, tetapi konsep mandi atau ghusl memiliki makna yang mirip dengan upacara siraman dalam budaya Jawa yang telah dibahas sebelumnya.
Dalam Islam, mandi atau ghusl memiliki tujuan untuk mencapai ṭaharah atau kesucian dari hadas besar. Mandi ini diwajibkan dalam beberapa situasi, seperti setelah hubungan suami istri, setelah haid atau nifas, dan sebelum melakukan ibadah tertentu seperti shalat Jumat. Hal ini sejalan dengan konsep kesucian dan persiapan spiritual sebelum melakukan ibadah dalam ajaran Islam.
Meskipun istilah dan ritualnya berbeda, ada kesamaan makna filosofis antara mandi dalam Islam dan siraman dalam pandangan filsafat atau budaya tertentu. Keduanya bertujuan untuk menghilangkan “kotoran” atau “dosa” agar individu dapat mencapai keadaan yang lebih suci dan layak melakukan ibadah atau kegiatan spiritual. Kesucian ini menjadi landasan untuk mendekatkan diri kepada Tuhan dalam konteks agama Islam, atau mencapai keberadaan yang lebih suci dalam pemikiran filsafat.
Filosofi ini tercermin dari keyakinan dalam filsafat Jawa yang berlandaskan pada tiga aras, yaitu aras dasar ber-Tuhan, aras kesadaran semesta, dan aras keberadaban manusia. Aras dasar ber-Tuhan menyatakan keberadaan Tuhan sebagai Penguasa Alam Semesta, yang dalam konteks siraman dianggap sebagai tempat memohon berkah. Segala sesuatu diyakini berasal dari Tuhan, dan oleh karena itu, permohonan berkah untuk keselamatan dan kelancaran dalam kehidupan diarahkan kepada-Nya.
Konsep ini memandang Tuhan sebagai sumber segala kebaikan dan keberkahan, serta sebagai tempat bagi seluruh permintaan manusia, terutama dalam konteks siraman pernikahan. Dengan demikian, siraman bukan hanya sekadar tindakan simbolis, tetapi juga merupakan ungkapan spiritualitas dan ketaatan kepada kepercayaan yang diyakini.
Selama prosesi siraman berlangsung, suasana menjadi sangat khidmat karena doa-doa dipanjatkan memenuhi udara. Doa-doa yang dilantunkan tersebut merupakan doa-doa keselamatan dan keberkahan yang diucapkan dengan tulus untuk kedua pengantin. Upacara ini tidak hanya sekadar kewajiban adat, melainkan juga merupakan momen sakral yang penuh makna.
Para pinisepuh atau mereka yang telah berpengalaman dalam kehidupan berkeluarga dipercayakan untuk menjadi bagian dari prosesi siraman ini. Mereka dianggap memiliki peran penting sebagai orang yang memandikan calon pengantin, karena mampu menghadirkan kearifan dan menunjukkan pengalaman hidup mereka dalam upacara ini. Dalam kepercayaan adat Jawa, semakin banyak orang yang memandikan calon pengantin pada upacara siraman, maka semakin banyak juga doa yang dipanjatkan. Namun untuk membatasi kesakralan acara siraman, maka dibatasi hanya tujuh orang inti saja yang bisa memandikan calon pengantin.
Keberadaan para penyiram tidak hanya sekadar sebagai pelaksana tugas fisik, tetapi juga sebagai pemimpin spiritual yang mengantar kedua pengantin dalam proses pembersihan dan persiapan rohaniah. Dengan doa-doa yang dihaturkan, upacara siraman menjadi momen yang sarat dengan harapan, kesucian, dan keselamatan bagi perjalanan hidup baru kedua mempelai.
Dalam konteks ini, makna siraman bukan hanya sebagai seremonial fisik semata, melainkan juga sebagai perjalanan spiritual yang dihiasi oleh doa-doa dan kehadiran para penyiram yang bijaksana. Proses penyiraman yang dilakukan oleh sejumlah orang yang dihormati ini menciptakan suatu ikatan antara tradisi, spiritualitas, dan kearifan lokal dalam konteks pernikahan adat Jawa.