Pernikahan adat Jawa melibatkan serangkaian prosesi yang panjang dan sarat makna. Kain sindur menjadi bagian penting dari rangkaian upacara pernikahan Jawa, mengemban peran khusus dalam memperkuat ikatan suci antara kedua mempelai.
Dalam konteks adat Jawa, aturan dan norma turun-temurun memegang peranan vital dalam pelaksanaan pernikahan. Setiap tahapannya diatur dengan cermat, mencerminkan kebijaksanaan dan kepercayaan nenek moyang.
Salah satu elemen yang menonjol dalam pernikahan Jawa adalah sinduran. Ritual ini melibatkan penggunaan kain sindur yang dipakai untuk membungkus bahu kedua mempelai. Sementara itu, ayah dari pengantin perempuan memiliki tugas mulia untuk mengantar putrinya menuju pelaminan.
Sinduran, seringkali terdengar di Pulau Jawa atau di lingkungan keluarga Jawa, adalah singkatan dari isin mundur, yang berarti malu mundur. Ini menandakan bahwa setiap pasangan pernikahan Jawa diharapkan untuk tidak menyerah dalam menghadapi tantangan hidup. Prosesi sinduran dianggap sangat penting dalam pernikahan adat Jawa dan menjadi momen yang tak terlupakan.
Dalam artikel ini, kita akan membahas berbagai aspek sinduran, termasuk makna dan pentingnya. Informasi lengkap tentang prosesi sinduran, termasuk hal-hal yang perlu dan tidak boleh dilakukan, akan dijelaskan di sini. Meskipun simpel, sinduran memiliki batasan dan tata cara tersendiri, sehingga penting untuk memahaminya agar tidak kewalahan dalam mengatur acara sinduran.
Dengan demikian, sinduran tidak hanya menjadi langkah seremonial semata, tetapi juga simbol keharmonisan dan kesatuan dalam perjalanan suci pernikahan menurut tradisi adat Jawa.
Apa yang Dimaksud dengan Upacara Sinduran?
Sinduran berasal dari kata ‘sindur‘, yang secara bahasa Jawa merujuk pada kain berwarna merah dan putih. Kain sindur ini menjadi elemen kunci dalam pernikahan, sering kali dikenal dengan kain merah menyala yang melibatkan kedua pasangan pengantin. Arti sinduran memiliki dimensi leksikal dan budaya yang berbeda. Secara leksikal, sinduran bermakna mengenakan kain merah secara harfiah.
Dari perspektif budaya, sinduran memiliki signifikansi menyerahkan seorang gadis kepada suaminya, menandakan peralihan tanggung jawab dari ayah kepada suami. Pengantin wanita memasuki fase baru dalam hidupnya yang dipandu oleh suaminya, menjadi nahkoda dari rumah tangga yang baru dibentuk. Tidak hanya memiliki makna filosofis, secara administratif, pernikahan mengakibatkan pengantin wanita masuk ke kartu keluarga baru dengan suami sebagai kepala keluarga.
Kain sindur memiliki desain memanjang dengan warna merah di bagian tengah dan putih di pinggirnya, menggambarkan purwaning dumadi atau asal-usul hidup. Kombinasi warna merah dan putih dalam kain ini melambangkan kesucian, diilustrasikan oleh kisah dalam Ramayana di mana Sinta membuktikan kesuciannya dengan menghadapi kobaran api.
Ada dua jenis kain sindur, yaitu sindur gendong dan sindur ayah. Sindur gendong digunakan untuk melilit bahu pengantin yang akan menuju pelaminan, memberikan semangat dan keberanian. Sindur ayah, dengan ukuran yang lebih panjang, melambangkan peran tuan rumah atau pemilik hajatan ketika digunakan oleh orang tua kedua mempelai.
Tujuan dan Pelaksanaan Tradisi Sinduran
Tradisi sinduran dalam pernikahan adat Jawa memiliki tujuan yang mendalam dan melibatkan serangkaian simbolik. Selain sebagai bagian dari rangkaian prosesi adat, sinduran juga menjadi simbol peralihan kehidupan baru bagi pasangan yang akan membangun keluarga. Melalui upacara ini, pasangan diwakili oleh kain sindur, menyatakan kesiapan mereka untuk hidup terpisah dari orangtua dan bersama-sama membangun kehidupan baru.
Proses sinduran sendiri relatif singkat, terutama di era modern di mana segalanya cenderung lebih cepat. Tradisi ini tidak berdiri sendiri, melainkan menjadi bagian dari prosesi adat Jawa yang lebih besar.
Sebelum memasuki pelaminan atau Krobongan, pasangan pengantin berjalan bersama dengan kain sindur yang menyelimuti mereka. Ayah mempelai wanita memimpin di depan, melambangkan bimbingan dalam perjalanan hidup baru, sementara ibu mempelai wanita berada di belakang, memegang kain sindur sebagai simbol dukungan yang tak terbatas.
Dalam perjalanan mereka menuju pelaminan, mempelai wanita berada di sebelah kiri, mempelai pria di sebelah kanan, sambil saling mengaitkan kelingking. Ayah mempelai wanita membimbing mereka sambil memegang keris yang ditautkan di bagian belakangnya.
Setelah mencapai pelaminan, mereka melepaskan genggaman, menyimbolkan langkah baru dalam menyongsong kehidupan pernikahan. Selain dari segi simbolis, sinduran juga mencakup harapan dan doa agar pernikahan pasangan tersebut berjalan dengan baik dan langgeng.
Persiapan Untuk Melakukan Tradisi Sinduran
Persiapan untuk sinduran, walaupun tidak terlalu rumit, membutuhkan perencanaan dan persetujuan dari semua pihak yang terlibat. Keluarga mempelai wanita memiliki peran penting dalam persiapan ini, terutama karena kedua orangtua mempelai wanita terlibat secara aktif dalam prosesinya.
Kain sindur
Salah satu aspek yang perlu diperhatikan adalah kain sindur, yang tidak hanya menjadi pembawa nama prosesi ini, tetapi juga memiliki makna simbolis yang mendalam. Kain sindur menjadi representasi dari bayangan dan persatuan kedua pasangan.
Warna merah dalam kain sindur melambangkan mempelai wanita, sementara warna putih di sekitarnya melambangkan mempelai pria. Singkatnya, prosesi sinduran secara simbolis mencerminkan komitmen seorang pria untuk selalu melindungi pasangannya.
Kesiapan fisik orang tua mempelai
Selain itu, penting untuk mempertimbangkan durasi prosesi dan kesehatan orang tua mempelai wanita. Meskipun terlihat singkat, beberapa orang mungkin memerlukan bantuan alat atau perencanaan khusus.
Oleh karena itu, komunikasi yang baik antara pasangan dan orangtua sebelum menjalani prosesi sangat diperlukan. Karena prosesi sinduran melibatkan tidak hanya pasangan yang akan menikah, tetapi juga kedua orangtuanya. Dengan demikian menciptakan keterlibatan emosional dan pengenalan antara kedua keluarga.
Perencanaan dengan cermat dan memastikan keterlibatan semua pihak, prosesi sinduran dapat dijalani dengan lancar, memperkuat ikatan antara pasangan dan keluarga mereka.
Itulah pengertian beserta makna yang perlu kamu ketahui mengenai tradisi sinduran ala adat Jawa. Upacara adat ini tidak perlu menciptakan rasa intimidasi. Ini hanyalah salah satu elemen dalam serangkaian upacara adat yang umumnya ditemui dalam pernikahan adat Jawa.
Namun, apakah pernikahan adat Jawa satu-satunya yang kompleks? Jawabannya, tentu tidak! Kompleksitas sebuah pernikahan selalu bergantung pada pelaksanaanya. Sebagai contoh, apakah pernikahan yang modern diadakan di sebuah pulau terpencil tidak menjadi sesuatu yang kompleks?
Jadi, esensi rumit atau mudahnya sebuah pernikahan tetap terletak pada pilihan dan preferensi pribadi. Saat ini, ada banyak opsi pernikahan adat yang dapat dipilih sesuai keinginan. Sinduran, meskipun memiliki nilai penting, sebenarnya hanya satu dari banyak hal yang dapat dipertimbangkan. Yang terpenting, seberapa memuaskan pernikahan tersebut bagi kedua mempelai? Dan apakah keluarga juga merasa bahagia dan terlibat dalam momen tersebut?
Dalam konteks pernikahan modern, variasi dan pilihan yang tersedia memberikan fleksibilitas bagi pasangan untuk menentukan elemen-elemen seperti sinduran sesuai dengan keinginan mereka. Jadi, yang terutama adalah kebahagiaan dan kepuasan pasangan serta dukungan dari keluarga mereka, tanpa harus merasa terikat pada konsep yang terlalu rumit atau tradisional.