Dalam prosesi pernikahan, ada tradisi penyerahan mahar pernikahan atau mas kawin yang sudah menjadi syarat sah sebuah perkawinan. Biasanya mahar ini dalam bentuk uang atau barang yang dibawa oleh pengantin pria. Mahar ini nantinya akan diberikan kepada pengantin wanita, pun sebaliknya, ada pula tradisi dimana pengantin wanita membawakannya untuk pengantin pria.
Selain itu, mahar juga dapat diartikan sebagai sebuah hadiah dari pengantin pria untuk pengantin wanitanya. Ada juga yang beranggapan bahwa mahar merupakan hadiah atau keberuntungan atau pemberian.
Pemberian mahar ini pun tergantung pada budaya sebuah negara. Misalnya di negara India, pemberian mas kawin ini dilakukan oleh mempelai wanita kepada mempelai pria. Sebaliknya, di negara Afrika dan di negara lain justru mempelai pria yang memberikan mahar kepada mempelai wanita. Di Indonesia sendiri menerapkan kedua cara tersebut, tergantung dengan suku bangsanya.
Pada suku Minang, mempelai wanita lah yang memberikan mahar pernikahan, tradisi tersebut dikenal sebagai uang japuik. Namun sebaliknya pada suku Jawa, mempelai pria yang memberikan mahar kepada wanitanya.
Banyak yang beranggapan bahwa jika pria memberikan mahar, maka pria tersebut sudah membeli wanita secara keseluruhan. Hal ini tentu tidak dibenarkan mengingat mahar merupakan salah satu syarat sah pernikahanmen menurut agama Islam.
Mahar merupakan hak yang harus dipenuhi oleh pria jika ingin menikahi wanita dan sebagai bentuk penghormatan suami kepada istrinya. Banyak yang memandang mahar dengan keliru seperti contoh di atas.
Sejarah Mahar Pernikahan
Sebenarnya tidak ada yang mengetahui dengan jelas awal mula terbentuknya tradisi mahar. Namun, banyak sumber berpendapat bahwa mahar sudah ada sejak zaman purbakala mengikuti perkembangan peradaban manusia. Umumnya, mahar diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita. Akan tetapi, banyak pula budaya tertentu yang menerapkan ketentuan sebaliknya.
Pemberian mahar ini dapat diartikan sebagai hak atas susah payah membesarkan dan sebagai kompensasi bagi keluarga sang mempelai wanita. Sebelum masuknya Islam, budaya pemberian mahar ini kurang lebih seperti prosesi jual beli calon mempelai wanita.
Prosesi ini bersangkutan antara calon pengantin pria dengan orang tua atau wali dari pihak mempelai wanita. Pada zaman itu, mahar yang diberikan calon mempelai pria akan menjadi milik saudara dekat laki-laki atau ayah dari pihak perempuan. Siapa laki-laki terdekat yang mengasuh dan membesarkan calon mempelai wanita lah yang berhak menerima mahar tersebut.
Setelah Islam masuk dan diterapkan, barulah ketentuan tersebut berubah. Mahar menjadi sepenuhnya hak milik calon pengantin wanita dan ia boleh meminta apa yang ia rasa sepadan. Mahar pernikahan juga tidak lagi menjadi prosesi jual beli, melainkan menjadi bentuk penghargaan calon pengantin pria untuk calon pengantin wanita.
Dalam agama Islam, mahar disebut sebagai shidaq. Berbagai macam mahar sebelum datangnya Islam juga sudah dicantumkan dalam undang-undang Hamurabi (kaum Zoroaster, Iran, dan Yunani). Namun pada keyakinan Kristen, tidak ada kebiasaan atau diberlakukannya pemberian mahar ini.
Ketentuan Memberikan Mahar Pernikahan
Mahar merupakan sebuah lambang kesungguhan untuk menikahi dari pria kepada wanita yang harus diberikan secara sukarela. Nilai mahar yang diberikan ditentukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak. Pemberian mahar menjadi salah satu syarat sah sebuah perkawinan. Oleh karena itu, jika tidak ada mahar, maka pernikahan bisa dianggap tidak sah.
Mahar Secara Islam
Jika ada mempelai wanita tidak meminta mahar apapun dan rela tidak mendapatkan mahar, pria tetap harus memberikannya. Paling tidak, mempelai pria memberikan mahar berupa dirinya (seperti dalam kisah Abu Thalhah.
Sebuah kisah yang mengislamkan dirinya sebagai mahar untuk menikahi Ummu Sulaim). Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah:
“Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim”)
Mengenai jumlah mahar yang harus diberikan ini juga dikuatkan kembali dengan pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam. Dalam hadits tentang larangan untuk bermahal-mahal dalam mahar:
“Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” (HR. Ahmad) dan “Pernikahan yang paling besar keberkahannya ialah yang paling mudah maharnya.” (HR. Abu Dawud).
Penerima Mahar yang Telah Diberikan
Secara teknis, kepemilikan mahar ini sepenuhnya adalah untuk mempelai wanita. Wanita yang akan dinikahi berhak menuntut pelunasan mahar setelah akad dilaksanakan. Jika mempelai wanita meninggal sebelum mahar lunas, maka hak tersebut jatuh kepada ahli warisnya. Maka, sang ahli waris berhak untuk menuntut penunasan mahar tersebut.
Jika setelah mahar diberikan, lalu dia membaginya dengan senang hati kepada keluarga atau saudaranya maka itu diperbolehkan. Namun, jika pria sedang dalam keadaan marah kemudian menyakiti istrinya, ia tetap tidak berhak mengambil kembali mahar yang sudah diberikan.
Mahar ini dapat kembali menjadi hak pria, namun hanya jika orang tua dari wanita menolak lamarannya. Dalam hal ini pria dapat meminta kembali mahar tersebut. Pada kasus pernikahan sementara, jumlah mahar pernikahan yang diberikan harus ditentukan sebelum akad dilakukan. Jika tidak dilakukan maka akan dianggap batal.
Berbeda dengan pernikahan permanen, mahar dapat ditentukan sesuai kesepakatan setelah akad dilaksanakan. Jika pasangan yang sudah menikah sepakat untuk bercerai, maka harta haruslah dibagi dua untuk suami dan istri secara adil. Perlu diketahui bahwa mahar tidak selalu mengenai uang, harta, emas atau apapun yang bersifat keduniaan.
Mahar dapat berupa hal-hal berharga menurut mempelai wanita, dan sesuatu yang dikehendaki olehnya. Namun, semua itu berlaku selama hal tersebut bukan yang dilarang atau dibenci oleh Allah SWT.
Jenis-Jenis Mahar Pernikahan
Ada tiga jenis mahar pernikahan dalam ajaran agama Islam, yaitu mahar musamma, mahar mitsil dan mahar mut’ah. Ketiga jenis mahar tersebut akan dijelaskan berikut ini untuk mempermudah pemberian mahar kepada calon mempelai wanita.
Mahar Musamma
Mahar Musamma adalah mahar yang jumlahnya sudah disepakati kedua pihak dan disebutkan saat akad maupun setelah akad. Jumlah dari mahar ini haruslah jelas dan tidak samar (dengan keterbukaan). Beberapa syarat Mahar Musamma adalah memiliki nilai ekonomi, jumlahnya disebutkan dengan jelas.
Bentuk mahar bisa berupa benda yang dapat dimiliki dan dipindahkan, memiliki manfaat dan suami memiliki kemampuan untuk memenuhinya. Penetapan jumlah mahar pada undang-undang hanya berupa seikhlasnya dari kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan. Sementara dalam riwayat Islam, wajib menjadikan sunnah mahar pernikahan sebagai patokan jumlahnya.
Mahar Mitsil
Mahar mitsil adalah mahar pernikahan yang jumlahnya ditentukan berdasarkan lingkungan sekitar atau lingkungan keluarga pihak wanita. Namun mahar mitsil berlaku jika kedua mempelai telah menikah dan berhubungan.
Jumlah mahar ini ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan, usia, pekerjaan dan sebagainya dari pihak istri. Hal ini menjelaskan bahwa mahar mitsil merupakan mahar yang setara dengan martabat wanita-wanita sepertinya.
Mahar Mut’ah
Ketentuan dari Mahar Mut’ah ini adalah jika suami menceraikan istrinya. Perceraian bisa terjadi karena dua hal, yang pertama adalah berpisah, yang kedua adalah karena kematian. Jika kasusnya adalah cerai meninggal, maka istri tidak memiliki hak untuk mendapatkan mahar ini.
Istri juga tidak memiliki hak mendapatkan mahar ini jika ia yang menggugat suaminya terlebih dahulu (keinginan bercerai berasal dari istri). Namun, jika suami ingin bercerai oleh sebab aib yang ada pada sang istri, hal ini pun tidak berlaku. Artinya, pihak istri tidak mendapatkan hak atas mahar mut’ah tersebut.
Mahar Mut’ah ini berlaku jika ide perceraian berasal dari suami dan juga suami yang menceraikan istrinya. Jika sudah menikah tapi belum melakukan hubungan badan, maka istri dapat setengah dari kesepakatan mahar di awal pernikahan. Kalau setengah sudah diberikan, maka istri tidak dapat lagi menuntut Mahar Mut’ah. Berbeda lagi dengan kasus perceraian yang sudah terjadi hubungan badan, maka istri dapat meminta penuh Mahar Mut’ah nya.
Bentuk-Bentuk Mahar Pernikahan
Ada banyak bentuk-bentuk mahar pernikahan yang berlaku di Indonesia, tergantung dengan adat yang berlaku. Beberapa bentuk ini akan dijelaskan secara lengkap, pun adanya beberapa suku yang memiliki aturan mahar.
Bentuk Mahar Suku Bugis
Pada suku Bugis, jika ada pria dari luar suku yang ingin menikahi wanita bugis, siap-siap dengan mahar yang akan diajukan. Masyarakat Bugis mematok harga mahar pernikahan berdasarkan derajat atau kedudukan hingga tingkat pendidikannya. Semakin tinggi tingkat pendidikan sang mempelai wanita, maka akan semakin mahal juga mahar yang harus diberikan.
Bentuk Mahar Suku Banjar
Berbeda dengan lagi adat dari suku banjar. Suku ini menganut budaya “JUJURAN”. Artinya, pihak laki-laki sepenuhnya membiayai seluruh biaya yang harus dibayarkan. Bukan hanya mahar yang mahal, biaya pernikahan juga harus ditanggung oleh pihak pria.
Jika pada zaman dulu, semakin mahal mahar yang diberikan maka semakin tinggi pula derajat pihak mempelai wanita. Pada zaman dulu, mahar pernikahan biasanya berbentuk uang atau emas yang ditempatkan pada sebuah kotak dengan ukiran untuk memperindah.
Bentuk Mahar Modern
Namun pada zaman sekarang, ketentuan tradisi lama ini tidak selalu diterapkan dengan alasan memudahkan keberlangsungan acara pernikahan. Banyak bentuk mahar pernikahan yang menjadi trend saat ini, misalnya uang sejumlah tanggal pernikahan atau barang mewah apapun.
Mahar juga dapat berupa perhiasan atau logam mulia, alasannya karena perhiasan memiliki nilai jual. Jika sewaktu-waktu ada kepentingan mendadak maka perhiasan atau logam mulia tersebut dapat dijual kembali dengan mudah.
Lalu ada juga dalam bentuk rumah atau sebidang tanah. Mahar jenis ini juga tentu saja memiliki nilai jual yang sangat tinggi. Terlebih lagi, jika adat yang digunakan berasal dari suku bugis yang memang menjadikan tanah atau rumah sebagai maharnya.
Bentuk mahar yang lainnya adalah hewan ternak. Hewan ternak sebenarnya sudah digunakan sejak zaman dahulu. Namun, pada daerah-daerah tertentu di Indonesia, masih ada masyarakat yang menggunakan mahar jenis ini. Hal ini karena sudah tidak terlalu banyak jumlahnya karena pada kota-kota besar banyak pilihan bentuk mahar yang lebih bernilai.
Bentuk Mahar Dalam Islam
Sementara itu dalam Islam, tidak ada ketentuan khusus yang mengatur tentang bentuk mahar. Asalkan tidak memberatkan pihak mempelai pria. Sebagai contoh, pasangan muslim biasanya memberikan mahar berupa seperangkat alas sholat. Salah satu bentuk mahar yang paling sederhana dengan makna yang begitu dalam.
Bagi mereka yang mampu, ada pula calon mempelai yang menambahkan emas beberapa gram bersama dengan alat sholatnya. Mahar pernikahan dengan bentuk ini tidak dapat disepelekan, seperti halnya setiap mahar memiliki makna tersendiri. Dalam hal ini, artinya calon suami sudah siap untuk menjadi pembimbing istrinya dalam kehidupan pernikahannya.
Kesimpulan
Perkembangan tradisi mahar zaman dulu dan sekarang yang paling signifikan adalah jumlahnya. Kemampuan ekonomi untuk membeli mahar tidak terlalu dipikirkan lagi. Jika dulu mahar yang mahal adalah dambaan setiap pasangan, maka pada zaman modern segalanya bisa melalui kesepakatan bersama.
Pada intinya, adalah mahar bukan lagi menjadi ajang jual beli wanita untuk dimiliki pria. Melainkan, sudah menjadi bentuk penghormatan pria kepada wanita dan wanita memiliki hak untuk mahar tersebut.
Bentuk mahar juga dapat disesuaikan dengan kemampuan masing-masing pihak sesuai kesepakatan yang dibuat. Mengikuti perkembangan peradaban, ketentuan mahar yang dilakukan pada zaman dahulu belum tentu sepenuhnya dilakukan pada zaman sekarang. Mengingat wanita-wanita di zaman modern ini sudah lebih paham mengenai hak dan kewajiban mereka.
Oleh sebab mahar pernikahan menjadi salah satu syarat sebuah pernikahan, hal ini tentunya memerlukan perhatian khusus. Perencanaan dan musyawarah dengan calon pasangan dirasa perlu untuk memutuskan atau menentukan mahar yang akan diberikan. Tentu saja, membicarakan mahar secara musyawarah akan menemukan solusi untuk kedua belah pihak.
Hal ini juga mengurangi beban mahar dari pihak laki-laki, bagi sebagian yang memiliki budget terbatas untuk melangsungkan pernikahan mereka. Meskipun pada beberapa adat suku, terdapat persyaratan dalam memberikan mahar kepada calon mempelai wanita dengan jumlah yang tidak sedikit.
Jika persyaratan ini menjadi suatu keharusan bagi mempelai pria, maka mereka bisa memutuskan sesuai dengan kemampuan. Oleh sebab itu, seperti ketentuan mahar pernikahan dalam islam bahwa pemberian mahar semestinya tidak memberatkan salah satu pihak. Jika memberatkan salah satu pihak, maka bisa terjadi kegagalan dalam melangsungkan pernikahan.