Indonesia merupakan salah satu negara yang kaya akan adat dan tradisi yang beragam, salah satunya adalah prosesi pernikahan yang berbeda-beda di berbagai daerah di Indonesia. Suku Bugis, yang berasal dari Pulau Sulawesi, memiliki tradisi pernikahan yang menarik untuk diikuti diamati.
Pernikahan adat Bugis, Makassar, menawarkan rangkaian prosesi yang sarat makna, mulai dari pra-akad, hingga pasca-upacara. Kekayaan budaya Indonesia tercermin dalam keragaman suku, termasuk dalam tata cara pernikahan mereka. Bagi kamu yang berasal dari latar belakang suku di Pulau Jawa atau di pulau lainnya yang ingin menikahi pasangan Bugis, memahami prosesi pernikahan adat Bugis menjadi penting. Berikut ini lah 8 rangkaian prosesi pernikahan adat Suku Bugis Makassar
Mammanu-Manu
Tahap Ma’manu’ manu’ adalah langkah dan tahapan pertama di dalam proses pernikahan adat Suku Bugis, di mana seorang pria mendekati keluarga atau gadis yang ingin dilamar. Pada masa sebelum masa teknologi komunikasi modern saat ini, tahap ini bertujuan untuk mengumpulkan informasi mengenai status gadis yang akan dipinang. Ini dilakukan untuk memastikan apakah gadis tersebut sudah memiliki ikatan dengan pria lain atau belum.
Selain itu, dalam tahap ini juga diperhatikan karakter dan latar belakang gadis tersebut. Biasanya, pada proses Ma’manu’-manu’ ini diwakili oleh wanita dari keluarga calon pengantin pria yang dianggap memiliki kapasitas untuk melaksanakan tugas tersebut. Jika gadis tersebut belum terikat dengan pria lain, proses pernikahan adat dapat dilanjutkan dengan penyampaian lamaran.
Tahap Ma’manu’ manu’ memegang peranan penting dalam menjaga kesucian dan keutuhan proses pernikahan adat. Melalui proses ini, keluarga dan masyarakat dapat memastikan bahwa pernikahan dilakukan dengan memperhatikan norma dan nilai-nilai yang berlaku dalam budaya Suku Bugis.
Madutta atau Massuro
Langkah selanjutnya dalam prosesi adat pernikahan Suku Bugis adalah penyampaian lamaran yang disebut Madduta atau Massuro, penyebutan ini tergantung pada budaya setempat. Pada tahapan ini, pria menyampaikan niatnya untuk menikahi wanita kepada keluarganya. Jika lamaran diterima, proses dilanjutkan ke langkah berikutnya yang dikenal sebagai Mappetuada.
Selanjutnya, dalam prosesi Madduta, pria akan mengunjungi orang tua si calon wanita untuk meminta izin dan membahas berbagai hal terkait pernikahan, termasuk besarnya uang panai atau mahar. Ini merupakan langkah yang penting dalam menjalin hubungan baik antara kedua keluarga dan juga menegaskan keseriusan niat untuk menjalani pernikahan adat.
Proses Madduta atau Massuro ini menjadi momen penting dalam persiapan pernikahan adat ala Suku Bugis dan Makassar, di mana adat dan tradisi turut memegang peranan penting dalam menentukan jalannya pernikahan.
Mappetuada
Mappettuada yang terdapat pada prosesi pernikahan Suku Bugis merupakan tahapan penting selanjutnya dalam meresmikan lamaran atau tunangan. Proses ini mengandung makna penting dalam menetapkan kesepakatan antara kedua belah pihak yang akan menikah. Kata “mappettu” mencerminkan keputusan yang diambil, sementara “ada” merujuk pada pernyataan atau kesepakatan.
Pada tahap ini, salah satu aspek utama yang dibahas adalah uang Panai’ atau disebut juga “Mappenre Dui” dalam budaya Bugis, atau “Appanai Leko Caddi” dalam budaya Makassar. Hal ini mencerminkan keseriusan dan komitmen kedua belah pihak terhadap pernikahan yang akan dilangsungkan. Selain itu, juga ditetapkan aspek-aspek penting lainnya, seperti penentuan hari baik untuk pernikahan, konsep dekorasi yang akan digunakan, serta hiburan yang akan disediakan dalam acara pesta pernikahan.
Mappettuada, sebagai bagian dari proses pernikahan adat, merupakan wadah bagi kedua keluarga untuk berdiskusi dan merencanakan segala hal yang berkaitan dengan pernikahan. Kesepakatan yang dicapai dalam tahap ini menjadi landasan kuat bagi kelangsungan dan kesuksesan pernikahan yang akan datang. Dengan demikian, mappettuada bukan hanya merupakan seremonial semata, tetapi juga merupakan tahap yang memperkuat hubungan antara kedua keluarga yang akan bersatu dalam sebuah ikatan pernikahan.
Mappasili’/ Cemme Passih dan Mappasau botting
Setelah mappetuada, terdapat prosesi yang disebut sebagai mappasau botting yang merujuk pada proses perawatan calon pengantin. Proses ini melibatkan perawatan intensif selama tiga hari berturut-turut sebelum pernikahan. Calon mempelai wanita akan menjalani serangkaian perawatan tradisional, termasuk mandi uap dan menggunakan bahan-bahan kosmetik alami yang dipercaya memiliki manfaat bagi kecantikan kulit.
Selama proses ini, perawatan tidak hanya secara fisik, tetapi juga memiliki nilai spiritual. Bagian akhir dari ritual ini adalah Cemme Passih, yang merupakan mandi tolak bala untuk memohon perlindungan dari Tuhan sebelum memasuki kehidupan baru sebagai pasangan suami istri. Upacara ini biasanya dilaksanakan pada pagi hari, satu hari sebelum hari pernikahan sebenarnya.
Ritual mappasau botting dan cemme passih adalah bagian dari persiapan pernikahan adat, tidak hanya untuk menjaga kecantikan fisik calon mempelai, tetapi juga sebagai bentuk persiapan spiritual dan perlindungan sebelum memasuki tahap baru dalam kehidupan berumah tangga.
Ma’panre Temme dan Mappacci
Sebagai bagian dari upacara pernikahan adat tradisional Bugis dan Makassar, sehari sebelum resepsi pernikahan dilaksanakan, pasangan pengantin akan mengadakan acara yang dikenal sebagai Mappacci (dalam bahasa Bugis) atau “Akkorontigi” (dalam bahasa Makassar) atau juga sering disebut sebagai “malam pacar”.
Pada tahapan ini, calon pengantin, baik pria maupun wanita, mengenakan pakaian adat Baju Bodo, duduk bersila menunggu kedatangan keluarga dan kerabat. Mereka kemudian disambut dengan daun pacar yang dioleskan ke tangan mereka oleh para tamu, sambil diiringi dengan doa-doa untuk kebahagiaan mereka dalam pernikahan yang akan datang. .
Ini adalah tahap penting yang memberikan kesempatan bagi pasangan untuk merasakan dukungan dan doa dari orang-orang terdekat menjelang perayaan pernikahan mereka. Acara ini tidak hanya merupakan bagian dari ritual persiapan fisik, tetapi juga memiliki makna simbolis yang dalam dalam budaya Bugis dan Makassar, menandai awal dari perjalanan mereka menuju kehidupan bersama.
Mappenre Botting/ Appanai Leko Lompo
Dalam pernikahan adat Bugis dan Makassar, ritual Mappenre Botting atau Appanai Leko Lompo menjadi momen penting. Ini adalah saat di mana pengantin pria berangkat dari rumahnya dengan diiringi oleh kerabat membawa seserahan “erang-erang” menuju rumah pengantin wanita.
Ketika tiba di rumah pengantin wanita, upacara akad nikah dilangsungkan di hadapan penghulu dengan diikuti oleh keluarga dan kerabat. Mempelai pria menyampaikan ijab kabul sebagai tanda persetujuannya.
Setelah upacara pernikahan selesai, para tamu diundang untuk menikmati hidangan yang telah disiapkan, sering kali diiringi oleh lagu tradisional seperti Balo’ Lipa’. Ini menjadi momen hangat di mana keluarga dan kerabat bisa berkumpul dan merayakan ikatan suci antara kedua pengantin.
Dengan demikian, prosesi Mappenre Botting atau Appanai Leko Lompo dan Akad Nikah menjadi bagian tak terpisahkan dari pernikahan adat Bugis dan Makassar, menandai awal dari perjalanan hidup bersama yang dihormati dan dirayakan oleh komunitas mereka.
Mappasikarawa
Setelah ijab Kabul disepakati, langkah selanjutnya adalah memperkenalkan mempelai pria kepada istrinya secara resmi. Prosesi ini sering kali dimulai dengan ketukan pintu sebagai tanda meminta izin kepada keluarga mempelai wanita untuk memasuki kamar pengantin. Begitu masuk ke dalam kamar, proses penting yang dilakukan ini disebut Mappasikarawa, yang merupakan sentuhan pertama yang diberikan oleh suami kepada istrinya.
Sentuhan ini dianggap penting karena melambangkan pengenalan dan penghormatan dalam hubungan baru mereka sebagai suami dan istri. Biasanya, sentuhan ini ditujukan ke arah pundak, yang simbolisnya mewakili kesetaraan dalam hubungan rumah tangga. Pada umumnya, Mappasikarawa menjadi momen intim yang ditunggu-tunggu, memperkuat ikatan antara pasangan yang baru menikah dalam tradisi pernikahan adat.
Mapparola
Mapparola, sebuah elemen penting dalam pernikahan adat Suku Bugis. Pada tahapan ini pihak wanita melakukan kunjungan ke rumah mempelai pria dengan penuh kegembiraan dan kehormatan. Tradisi ini sering diperlengkapi dengan perayaan resepsi yang meriah di rumah mempelai pria, mengundang kerabat, tetangga, dan teman-teman untuk bersukacita bersama.
Namun dalam perkembangannya, beberapa tahapan tradisional seperti yang dijelaskan di atas mulai ditinggalkan. Alasannya beragam, termasuk pertimbangan efisiensi ekonomi yang menghambat pelaksanaannya. Selain itu, beberapa aspek ritual dianggap tidak lagi sesuai dengan prinsip syariat Islam dan dianggap tidak relevan dengan zaman saat ini. Contohnya adalah tradisi Pakkio’ Bunting, yang melibatkan penyambutan pengantin pria dengan syair-syair khas Makassar, kini semakin jarang dijumpai.
Meskipun demikian, pernikahan adat tetap mempertahankan esensi kebersamaan dan kegembiraan dalam menyatukan dua keluarga. Meskipun beberapa elemen tradisional telah dihilangkan, perayaan pernikahan dengan tradisi adat Bugis masih merupakan momen yang sakral dan berarti bagi pasangan dari komunitas masyarakat adat Suku Bugis.
Itulah 8 rangkaian prosesi pernikahan adat ala Suku Bugis penuh makna yang perlu kamu ketahui. Meskipun banyak orang lebih memilih pernikahan yang modern saat ini, tetapi penting untuk mendukung serta menjaga tradisi adat pernikahan Suku Bugis.