Tradisi dan budaya yang ditemui di Indonesia mencakup berbagai bentuk adat istiadat. Keunikan budaya tersebut dapat terlihat dengan jelas lewat prosesi pernikahan dan busana pengantin yang dikenakan, termasuk adat istiadat di Sumatera Barat.
Bagi kamu yang berasal dari sana, keinginan untuk menikah dengan mengenakan busana pengantin adat Minangkabau tentu menjadi suatu keinginan. Selain untuk melestarikan warisan budaya nenek moyang, memilih busana pengantin adat Padang ini juga memberikan pengingat akan berbagai prosesi khas suku Minangkabau, sesuatu yang tidak akan ditemui dalam pernikahan modern.
Ini dia berbagai atribut baju pengantin adat Padang yang harus kamu ketahui sebelum mempersiapkan pernikahan. Disimak sampai selesai dan kamu telah berhasil melakukan salah satu upaya penting dalam pelestarian warisan budaya.
Atribut pengantin pria Minangkabau
Baju Penghulu
Pakaian penghulu dikenal sebagai Baju Pemangku Adat, merupakan busana tradisional Minangkabau yang dikenakan oleh pria. Penggunaan baju ini tidak sembarangan dan ada aturan khusus yang harus diikuti untuk dapat mengenakannya. Pada masa lampau, hanya kepala suku yang berhak mengenakan pakaian ini. Baju Penghulu memiliki warna dominan hitam, yang menggambarkan sifat ketegasan dan kepemimpinan, mengingat kaum pria dianggap sebagai pemimpin dalam masyarakat Minangkabau.
Baju penghulu memiliki warna hitam yang melambangkan kepemimpinan dengan filosofi: “hitam tahan tapo, putiah tahan sasah” (hitam tahan tempa, putih tahan cuci). Ungkapan ini menggambarkan bahwa seorang pemimpin harus dapat menerima kritik dan pujian. Secara poetis, baju hitam tersebut digambarkan sebagai:
“baju hitam gadang langan, langan tasenseng bukan dek bangih, pangipeh angek nak nyo dingin, pahampeh gabuek nak nyo habih” (baju hitam besar lengan, lengan tersinsing bukan karena marah, pengipas hangat supaya dingin, pengipas debu supaya habis).
Benang makau yang digunakan pada lengan baju melambangkan bahwa orang besar membutuhkan dukungan. Leher baju yang lepas, tetapi tidak berkatuk, menggambarkan bahwa seorang penghulu memiliki wilayah luas. Ungkapan:
“lihie nan lapeh tak bakatuak, babalah hampie ka dado” (leher yang lepas tidak berkatuk, berbelah hampir kedada) menyiratkan bahwa wilayah seorang penghulu sangat luas, tanahnya subur, dan berkatuk.
Kemudian, ungkapan yang mencerminkan bahwa seorang penghulu harus teguh dalam kepemimpinannya seperti gunung dan laut yang tetap kokoh:
“Gunuang tak runtuah dek kabuik, lawuik tak karuah dek ikan, rang gadang martabatnyo saba, tagangnyo bajelo-jelo, kaduonyo badantiang-dantiang, paik manih pandai malulua, disitu martabat bahimpunnyo” (gunung tidak runtuh karena kabut, laut tidak keruh karena ikan. Orang besar martabatnya besar, tegangnya berjela-jela, kendurnya berdenting-denting, pahit manis pandai melulur, disana martabat berhimpunnya).
Kesimpulannya, pesan yang terkandung adalah bahwa seorang penghulu harus kokoh dan bijaksana dalam menghadapi berbagai tantangan serta mempertahankan kepemimpinannya. Pada era modern, pakaian ini juga bisa dipakai oleh mempelai pria dalam pernikahan. Terdapat berbagai pelengkap untuk baju penghulu, yang akan dijelaskan lebih lanjut di bawah ini.
Deta atau Saluak
Deta atau Destar adalah penutup kepala yang dikenakan oleh pria Minangkabau ketika mengenakan pakaian tradisional. Penutup kepala ini memiliki ciri khas yang disesuaikan dengan status sosial seseorang. Meskipun memiliki berbagai warna, kain berwarna hitam sering menjadi pilihan utama.
Deta dikenakan dengan cara melilitkan kain di kepala pria. Deta raja dianggap sebagai Deta tertinggi karena terbuat dari bahan berkualitas, lebih baik dibandingkan Deta lainnya. Kerutan pada Deta memberikan pesan bahwa pemimpin adat sebaiknya merenung secara mendalam sebelum berbicara.
Deta yang umumnya dipadukan dengan baju penghulu oleh pemangku adat adalah Deta Saluak Batimbo. Di sisi lain, masyarakat umum biasanya menggunakan Deta Ameh dan Deta Cilien Manurun, yang memiliki desain sederhana serta sering dipakai dalam kegiatan sehari-hari.
Serawa
Dalam pepatah adat mengenai sarawa, disebutkan, “basarawa hitam gadang kaki, kapanuruik alue nan luruih, kapanampuah jalan pasa dalam kampung, koto jo nagari, langkah salasai jo ukuran.” Artinya, “bercelana hitam besar pada kaki, berjalan lurus sesuai alur yang lurus, menempuh jalan di pasar dalam kampung, kota dan nagari, langkah selesai dengan ukuran.”
Celana sarawa dipasangkan dengan baju penghulu saat dipakai oleh pengantin pria. Celana tradisional ini memiliki desain dengan ukuran yang besar, terutama di area paha dan betis. Sementara itu, celana penghulu yang memiliki ukuran besar pada kakinya memiliki makna bahwa kebesaran seorang pria terletak dalam kemampuan untuk menjawab setiap panggilan dan menjadi contoh dalam kehidupan bermasyarakat, baik sebagai pemangku adat maupun ketika berinteraksi sosial.
Kebesaran tersebut hanya dibatasi oleh satu aspek martabat penghulu, yaitu sifat murah dan mahal, mencerminkan kedermawanan serta nilai-nilai moral dalam hati serta tindakan yang sesuai dengan norma.
Perhiasan
Pengantin pria Minangkabau juga mengenakan perhiasan seperti mempelai wanita. Berikut adalah beberapa aksesori yang dikenakan oleh marapulai:
- Kalung tiga tingkat dengan motif pacat kenyang,
- Pending, merupakan ikat pinggang yang terbuat dari emas atau perak. Selain berfungsi sebagai perhiasan, pending juga menjadi tempat untuk menyisipkan keris,
- Keris, ditempatkan pada pinggang bagian depan dengan tangkai menghadap ke kiri,
- Alas Kaki, pengantin pria mengenakan kaos kaki putih dan sepatu.
Atribut pengantin wanita Minangkabau
Suntiang
Bagian kepala pengantin wanita dihiasi dengan suntiang. Suntiang adalah dekorasi kepala yang berbentuk setengah lingkaran dan memiliki tingkatan-tingkatan. Ornamen-ornamen pada suntiang ini berupa motif flora dan fauna, seperti bunga mawar, burung merak, ikan, pisang, dan kupu-kupu.
Kemudian, terdapat satu tingkat ekstra pada suntiang yang disebut mansi-mansi. Bagian ini terdiri dari sarai sarumpun dan beberapa tingkat suntiang gadang, yang jumlahnya ganjil sebagai simbol kedewasaan dan kebijaksanaan. Pada bagian puncak suntiang, barulah susunan kembang goyang disematkan untuk memberikan keindahan tambahan.
Terdapat dua jenis perhiasan kepala, yaitu kote-kote, bergantung di sisi kanan-kiri, serta lanca yang berbentuk seperti kalung dan diletakkan di dahi. Dalam penggunaannya, terdapat perbedaan ukuran untuk suntiang. Pengantin wanita mengenakan suntiang yang lebih besar, dikenal sebagai suntiang gadang. Sebaliknya, suntiang berukuran kecil digunakan oleh pendamping pengantin atau penari tradisional, dikenal sebagai suntiang ketek.
Dalam hal bentuknya, suntiang memiliki berbagai variasi, seperti suntiang bungo pudieng, pisang saparak, pisang saikek, pinang bararak, kambang, mangkuto, kipeh, sariantan, dan matua palambaian.
Suntiang umumnya dipakai oleh pengantin yang berasal dari wilayah pesisir Kota Padang, Kabupaten Pesisir Selatan, dan Pariaman. Suntiang memiliki berat yang tidak ringan sebagai aksesoris, sehingga bisa menyebabkan pengantin merasa sakit kepala ketika mengenakannya. Namun, untuk mendapatkan pengalaman penggunaannya sekali seumur hidup, banyak pengantin bersedia tetap menggunakan suntiang pada hari istimewa mereka.
Penggunaan suntiang sendiri menjadi daya tarik bagi pengantin Minang. Keberadaan mahkota yang besar ini memberikan kesan elegan dan mewah, menciptakan penampilan seperti putri kerajaan pada hari pernikahan.
Tengkuluk/ Tingkuluak
Kebesaran hati wanita Minang dapat terlihat dari simbol tradisional yang dikenal sebagai “tingkuluak tanduak”. Ini merupakan penutup kepala wanita yang berbentuk menyerupai tanduk.
Penutup kepala ini terbuat dari kain yang dibentuk seperti selendang panjang, kemudian dianyam menyerupai tanduk dengan dua sisi tajam di sebelah kiri dan kanan. Umumnya, tingkuluak digunakan oleh perempuan dalam berbagai pertunjukan tari adat, upacara, penyambutan tamu, dan saat mengiringi pengantin dalam acara pernikahan.
Mengapa tingkuluak dianggap sebagai simbol kekuatan hati perempuan? Hal ini karena tingkuluak melambangkan kemauan tinggi untuk mencapai tujuan yang baik, ketekunan, dan semangat. Filosofi dari tingkuluak yang menyerupai rumah gadang menggambarkan bahwa perempuan sebagai pemilik rumah bundo kanduang bagi keluarganya.
Pentingnya ujung tingkuluak yang tumpul adalah simbol keberanian, keramahan, dan sikap tidak ingin menyakiti hati orang lain. Kesetaraan panjang tanduk atau sisi kiri-kanan pada tingkuluak menandakan keseimbangan serta keadilan yang sesuai dengan kebutuhan dan kesejahteraan masyarakat.
Tingkuluak Koto Gadang umumnya dipakai oleh pengantin perempuan di Koto Gadang pada saat upacara pernikahan. Dibuat dari kain beludru berwarna merah atau ungu tua, tingkuluak memiliki bentuk persegi panjang. Bagian tepi kain dihias dengan minise atau renda berwarna keemasan. Permukaan kain didekorasi dengan taburan loyang yang memiliki motif bunga, bintang, dan elemen lainnya.
Salempang
Salempang adalah sejenis selendang tambahan dan dirancang khusus untuk wanita yang telah menikah atau sudah memiliki keluarga. Tujuan dari penggunaan Salempang ini adalah untuk memastikan bahwa wanita Minang yang memakainya dapat melanjutkan keturunan dengan memiliki anak dan cucu.
Namun, Salempang memiliki makna lebih dalam. Wanita yang mengenakan Salempang diharapkan menjadi contoh yang baik bagi anak dan cucunya serta selalu mawas terhadap segala hal, baik untuk kondisi saat ini maupun masa depan.
Baju Batabue
Batabue, yang bermakna “baju bertabur,” menunjukkan bahwa busana ini dihiasi dengan benang emas, melambangkan kekayaan alam. Taburan emas di seluruh baju mencerminkan kekayaan sumber daya alam yang dimiliki oleh Sumatera Barat.
Provinsi ini memang kaya akan sumber daya alam, seperti batu besi, batubara, batu galena, seng, timah hitam, batu kapur (semen), mangan, emas, kakao, kelapa sawit, hasil perikanan, dan gambir.
Baju batabue memiliki empat pola warna yang umum, yaitu merah, lembayung, hitam, dan biru. Pemilihan warna gelap dapat menambahkan kilau emas karena kontrasnya sehingga memberikan kesan elegan dan berkelas. Namun, tentu saja, preferensi warna dapat berbeda bagi setiap individu.
Bentuk baju batabue menyerupai pakaian kurung dengan pernak-pernik untuk menambah keindahan dan pesonanya. Desainnya dengan lengan panjang dan potongan longgar memberikan kesan tertutup dan tidak mengungkapkan bentuk tubuh wanita.
Hiasan minsie di sekitar leher dan lengan memiliki makna sebagai sulaman yang melambangkan kewajiban seorang wanita Minangkabau untuk taat pada ketetapan norma-norma adat di masyarakat.
Bentuk baju ini tampak serupa dengan baju kurung Aceh, yang tidak mengherankan karena Minang dan Aceh merupakan bagian dari rumpun Melayu. Baju ini umumnya dipakai dalam pernikahan dan upacara adat lainnya.
Lambak
Lambak atau sarung adalah pakaian bagian bawah yang dipasangkan dengan baju batabue, menciptakan penampilan yang mencerminkan nilai-nilai kesopanan, keteraturan, dan estetika menyenangkan. Lambak ini terbuat dari kain songket atau anyaman yang dihias dengan motif minsie. Warna kain yang umumnya digunakan untuk lambak ini mencakup berbagai nuansa pastel, gelap, atau cerah.
Cara memakai lambak bervariasi tergantung pada tradisi setiap daerah di Minang. Beberapa orang mengenakannya dengan menunjukkan belahan di bagian depan, samping, atau belakang. Bahkan ada yang menggunakannya dengan cara dilipat ke bagian belakang.
Perhiasan
Masyarakat Padang memiliki kalung atau dukuah dengan berbagai model seperti daraham, perada, kaban, dan lainnya yang digunakan oleh pengantin wanita dalam upacara pernikahan adat Minangkabau.
Kalung memiliki makna filosofi tersendiri, yaitu setiap tindakan wanita Minang harus didasarkan pada kebenaran. Wanita tersebut sebaiknya tidak melakukan sesuatu yang diketahuinya tidak benar, karena dapat merugikan diri sendiri dan orang lain.
Perhiasan lain yang digunakan oleh pengantin wanita Minang dalam upacara pernikahan adat Padang meliputi anting-anting bertingkat dua yang terbuat dari emas, lima buah kalung (dukuah) dengan motif berbeda-beda seperti rumah adat Minangkabau, dukuah pinyaram (kalung pinyaram dengan motif pinyaram, sejenis makanan di Minangkabau), kalung cekik leher, dan lainnya.
Selain kalung, pengantin wanita Minang juga mengenakan aksesoris di tangan seperti gelang gadang, gelang kunci maniak, gelang ula, dan gelang rago-rago. Alas kaki yang terbuat dari beludru dan dihiasi dengan manik-manik juga menjadi bagian dari perhiasan yang digunakan.
Prosesi pernikahan adat Padang mencerminkan kekayaan budaya dan tradisi di masyarakat Minangkabau. Setiap langkah dan simbolisme di dalam upacara ini memberikan gambaran mendalam tentang nilai-nilai yang dijunjung tinggi oleh masyarakat setempat.
Melalui tata cara yang penuh makna, pernikahan adat Padang bukan hanya sekadar seremoni, tetapi juga sebuah penghormatan terhadap warisan nenek moyang dan lambang komitmen kuat antara kedua mempelai. Ritme musik tradisional yang mengiringi langkah-langkah tersebut menambah kehangatan dan keceriaan dalam perayaan.