Sejarah dan Ketentuan Mahar Nikah

Sejarah dan Ketentuan Mahar Nikah

Dalam prosesi perkawinan, ada sebuah tradisi penyerahan mahar nikah yang sudah menjadi syarat sah sebuah perkawinan.

Mahar dapat di artikan dalam beberapa definisi, yaitu bentuk uang atau barang yang dibawa pengantin wanita kepada pengantin pria bersamaan dengan penyerahan pengantin wanita untuk pengantin pria.

Mahar juga dapat diartikan sebagai sebuah hadiah dari pengantin pria untuk pengantin wanitanya. Ada juga yang beranggapan bahwa mahar merupakan hadiah atau keberuntungan atau pemberian.

Banyak yang beranggapan bahwa jika pria memberikan mahar, maka pria tersebut sudah membeli wanita secara keseluruhan. Hal ini tentu tidak dibenarkan mengingat mahar merupakan salah satu syarat sah pernikahan.

Mahar merupakan hak yang harus dipenuhi oleh pria jika ingin menikahinya dan sebagai bentuk penghormatan suami kepada istrinya. Banyak yang memandang mahar dengan keliru seperti contoh diatas.

Sejarah Mahar Nikah

Sebenarnya tidak ada yang mengetahui dengan jelas awal mula terbentuknya tradisi mahar, namun banyak sumber berpendapat bahwa mahar sudah ada sejak zaman purbakala mengikuti perkembangan peradaban manusia. Umumnya, mahar diberikan oleh mempelai pria kepada mempelai wanita. Namun banyak budaya tertentu yang menerapkan ketentuan sebaliknya.

Sebelum masuknya islam, budaya pemberian mahar nikah ini kurang lebih seperti prosesi jual beli calon mempelai wanita antara calon pengantin pria dengan orang tua atau wali dari pihak perempuan. Pada zaman itu, mahar yang diberikan calon mempelai pria akan menjadi milik saudara dekat laki-laki atau ayah dari pihak perempuan. Siapa laki-laki terdekat yang mengasuh dan membesarkan calon mempelai wanita lah yang berhak menerima mahar tersebut.

Setelah islam masuk dan diterapkan, barulah ketentuan tersebut berubah. Mahar menjadi sepenuhnya hak milik calon pengantin wanita dan ia boleh meminta apa yang ia rasa sepadan. Mahar juga tidak lagi menjadi prosesi jual beli, melainkan menjadi bentuk penghargaan calon pengantin pria untuk calon pengantin wanita.

Ketentuan Mahar

Mahar nikah merupakan sebuah lambang kesungguhan untuk menikahi dari pria kepada wanita yang harus diberikan secara sukarela. Nilai mahar yang diberikan ditentukan sesuai dengan kesepakatan kedua belah pihak.

Pemberian mahar menjadi salah satu syarat sah sebuah perkawinan, oleh karena itu jika tidak ada mahar maka pernikahan dianggap tidak sah. Walaupun mempelai wanita tidak meminta mahar apapun dan rela tidak mendapatkan mahar, paling tidak mempelai pria memberikan mahar berupa dirinya (seperti dalam kisah Abu Thalhah yang mengislamkan dirinya sebagai mahar untuk menikahi Ummu Sulaim).

Seperti yang dikatakan oleh Rasulullah: “Sebaik-baik mahar adalah mahar yang paling mudah (ringan).” (HR. al-Hakim : 2692, beliau mengatakan “Hadits ini shahih berdasarkan syarat Bukhari Muslim”). Mengenai jumlah mahar yang harus diberikan ini juga dikuatkan kembali dengan pernyataan Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam tentang larangan kita untuk bermahal-mahal dalam mahar, diantaranya dalam sabda beliau adalah : “Di antara kebaikan wanita ialah memudahkan maharnya dan memudahkan rahimnya.” (HR. Ahmad).

Dalam banyak hadist disebutkan jika tingginya harga mahar adalah bukti dari kebobrokan wanita, maka dianjurkan untuk mengajukan mahar yang setara dengan mahar sunnah (jumlahnya kira-kira 1250-1500 gram perak pada zaman itu, jika dihitung pada masa sekarang setara dengan 170-223 gram emas).

Secara teknis, kepemilikan mahar ini sepenuhnya adalah untuk mempelai wanita, dia berhak menuntut pelunasan mahar setelah akad dilaksanakan. Jika mempelai wanita meninggal sebelum mahar lunas, maka hak tersebut jatuh kepada ahli warisnya dan dia berhak untuk menuntut penunasan mahar tersebut.

Perlu diketahui bahwa mahar pernikahan tidak selalu mengenai uang, harta, emas atau apapun yang bersifat keduniaan. Mahal dapat berupa hal berharga menurut mempelai wanita yang dikehendaki olehnya, selama hal tersebut bukan yang dilarang atau dibenci oleh Allah SWT.

Jenis-jenis Mahar Nikah

  • Mahar Musammah

Mahar Musammah adalah mahar pernikahan yang jumlahnya sudah disepakati kedua pihak pada saat sebelum melakukan hubungan badan dan disebutkan saat akad maupun setelah akad. Jumlah dari mahar ini haruslah jelas dan tidak samar. Beberapa syarat Mahar Musammah adalah memiliki nilai ekonomi, jumlahnya disebutkan dengan jelas, benda dapat dimiliki dan dipindahkan, memiliki manfata dan suami memiliki kemampuan untuk memenuhinya.

Penetapan jumlah mahar pada undang-undang hanya berupa seiklasnya dari kedua belah pihak sesuai dengan kesepakatan, sementara dalam riwayat islam wajib menjadikan sunnah mahar sebagai patokan jumlahnya.

  • Mahar Mitsil

Jika dalam kasus suami istri telah berhubungan badan, namun jumlah mahar belum ditentukan atau kesepakatannya batal, maka jumlah mahar ditentukan berdasarkan kebiasaan masyarakat sekitar atau lingkungan terdekatnya yaitu keluarga pihak istri.

Jumlah mahar pernikahan ini ditentukan berdasarkan tingkat pendidikan, umur, pekerjaan dan sebagainya dari pihak istri. Hal ini menjelaskan bahwa Mahar Mitsil merupakan mahar yang setara dengan martabat wanita-wanita sepertinya.

  • Mahar Mut’ah

Ketentuan dari Mahar Mut’ah ini adalah jika suami menceraikan istrinya. Perceraian bisa terjadi karena dua hal, yang pertama adalah berpisah, yang kedua adalah karena kematian.

Jika kasusnya adalah cerai meninggal, maka istri tidak memiliki hak untuk mendapatkan mahar ini. Istri juga tidak memiliki hak mendapatkan mahar ini jika ia yang menggugat suaminya terlebih dahulu (ide perceraian berasal dari istri).

Namun jika suami meminta diceraikan oleh istri karena adanya aib dari pihak istri (Seperti penyakit, dll) maka istri juga tidak mendapat hak Mahar Mut’ah ini. Mahar Mut’ah ini berlaku jika ide perceraian berasal dari suami dan juga suami yang menceraikan istrinya.

Jika sudah menikah tapi belum melakukan hubungan badan, maka istri dapat setengah dari kesepakatan mahar di awal pernikahan. Kalau setengah sudah diberikan, maka istri tidak dapat lagi menuntut Mahar Mut’ah. Berbeda lagi dengan kasus perceraian yang sudah terjadi hubungan badan, maka istri dapat meminta penuh Mahar Mut’ah nya.

Bentuk-bentuk Mahar Nikah

Banyak bentuk mahar nikah yang berlaku di Indonesia, tergantung dengan adat yang berlaku. Misalnya pada suku bugis, jika ada pria dari luar suku bugis ingin menikahi wanita bugis, siap-siap dengan mahar yang akan diajukan.

Jika pada zaman dulu, semakin mahal mahar yang diberikan maka semakin tinggi pula derajat pihak mempelai wanita. Pada zaman dulu, mahar biasanya berbentuk uang atau emas yang ditempatkan pada sebuah kotak dengan ukiran untuk memperindah.

Namun pada zaman sekarang, ketentuan tradisi lama ini tidak selalu diterapkan dengan alasan memudahkan keberlangsungan acara pernikahan. Banyak bentuk mahar yang menjadi trend saat ini, misalnya uang kertas sejumlah tanggal pernikahan atau uang kertas yang dibentuk bunga, dll.

Mahar nikah juga dapat berupa perhiasan atau logam mulia, alasannya karena perhiasan memiliki nilai jual jika sewaktu-waktu ada kepentingan mendadak maka perhiasan atau logam mulia tersebut dapat dijual dengan mudah. Lalu ada juga dalam bentuk rumah atau sebidang tanah. Mahar jenis ini juga tentu saja memiliki nilai jual yang sangat tinggi, terlebih lagi jika adat yang digunakan berasal dari suku bugis yang memang menjadikan tanah atau rumah sebagai maharnya.

Perkembangan tradisi mahar zaman dulu dan sekarang yang paling signifikan adalah jumlahnya. Kemampuan ekonomi untuk membeli mahar tidak terlalu dipikirkan lagi. Pada zaman modern ini mahar sudah menjadi simbolik untuk pernikahan dari pasangan tersebut.

Pada intinya adalah mahar nikah bukan lagi menjadi ajang jual beli wanita untuk pria, melainkan sudah menjadi bentuk penghormatan pria kepada wanita dan wanita memiliki hak untuk mahar tersebut. Bentuk mahar juga dapat disesuaikan dengan kemampuan masing-masing pihak sesuai kesepakatan yang dibuat.

Mengikuti perkembangan peradaban, ketentuan mahar nikah yang dilakukan pada zaman dahulu belum tentu sepenuhnya dilakukan pada zaman sekarang juga. Menginat wanita-wanita di zaman modern ini sudah lebih paham mengenai hak dan kewajiban mereka.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *