Menjadi salah satu hal yang paling penting dalam setiap pernikahan umat Muslim, mahar atau mas kawin ini bersifat wajib untuk diberikan oleh suami kepada istri saat setelah akad nikah dilangsungkan. Bukan untuk dipamerkan atau menjadi ajang pembuktian, mahar dan mas kawin ini bersifat wajib. Nilainya bisa ditentukan dan disesuaikan sendiri oleh kedua mempelai, sesuai dengan kemampuan masing-masing.
Dalam kitab al-Fiqh al-Manhaji dijelaskan bahwa:
“Mas kawin hukumnya wajib bagi suami dengan sebab telah sempurnanya akad nikah, dengan kadar harta yang telah ditentukan, seperti 1000 lira Syria, atau tidak disebutkan, bahkan jika kedua belah pihak sepakat untuk meniadakannya, atau tidak menyebutkannya, maka kesepakatan tersebut batal, dan mas kawin tetap wajib”.
Dari pernyataan ini, maka suami wajib menyiapkan mas kawin atau mahar yang pantas untuk sang istri. Lantas, untuk siapa mahar atau mas kawin tersebut nanti diperuntukkan? Apakah untuk istri, atau untuk orang tua?
Tujuan Pemberian Mahar
Dalam sebuah hadits, Aisyah, istri Rasulullah sallallahu ‘alaihi wasallam meriwayatkan bahwa Rasulullah bersabda,
“Sesungguhnya perkawinan yang paling diberkahi adalah yang maharnya paling mudah,” dan beliau juga menyebutkan bahwa “Perempuan yang baik hati adalah yang maharnya murah, memudahkan dalam urusan perkawinannya, dan baik akhlaknya. Sedangkan perempuan yang celaka adalah yang maharnya mahal, sulit perkawinannya, dan buruk akhlaknya.” (HR. Imam Ahmad).
Hadits ini memberikan pandangan dan petunjuk dari Rasulullah terkait dengan pentingnya kesederhanaan dalam masalah mahar dalam pernikahan. Beliau menekankan bahwa perkawinan yang paling diberkahi adalah yang maharnya mudah atau terjangkau. Hal ini dipandang sebagai sebuah upaya untuk mendorong kemudahan dan keterjangkauan perkawinan. Sehingga, calon pengantin tidak terbebani oleh beban finansial yang berlebihan.
Selain itu, hadits tersebut juga memberikan gambaran tentang karakter perempuan yang dianggap baik dalam Islam. Wanita yang baik hati, memudahkan dalam urusan perkawinannya, dan memiliki akhlak yang baik cenderung memiliki mahar yang terjangkau. Sebaliknya, perempuan yang mahal maharnya, sulit dalam perkawinannya, dan buruk akhlaknya dianggap sebagai “celaka” dalam konteks hadits tersebut.
Hadits ini dapat dijadikan pedoman bagi umat Islam untuk menjalani perkawinan. Dengan mempertimbangkan nilai-nilai seperti kesederhanaan, kemudahan, dan baik akhlak, sebagai bagian dari ajaran Islam yang mengutamakan keadilan, keseimbangan, dan kemudahan dalam menjalani kehidupan.
Mahar atau mas kawin sendiri biasanya diberikan dalam bentuk perhiasan atau benda berharga lainnya ini disiapkan oleh sang suami, untuk menunjukkan kesungguhan (shidq) niat suami yang ingin menikahi istri dan menempatkannya pada derajat yang mulia. Ada beberapa tujuan dan makna penting yang terkandung dalam kewajiban ini, yang memberikan dimensi lebih dalam terkait komitmen, penghargaan, dan perlindungan, serta mencerminkan prinsip-prinsip kesetaraan dalam Islam. Tujuan penting pemberian mahar bagi istri di antaranya yaitu;
Menunjukkan Kesungguhan Niat
Salah satu aspek penting dari pemberian mahar adalah sebagai bukti nyata dari kesungguhan niat suami untuk menikahi istri. Pemberian ini menjadi tanda konkret bahwa pernikahan bukanlah sekadar formalitas, melainkan merupakan langkah serius yang diambil dengan komitmen yang kuat. Ini menciptakan dasar yang kuat untuk membangun hubungan pernikahan yang sehat dan berlandaskan pada niat suci.
Pemberian mahar juga mengekspresikan adanya komitmen dan tanggung jawab yang serius dalam menjalankan pernikahan. Ini melibatkan kesediaan suami untuk memenuhi kewajibannya terhadap istri, baik secara materi maupun emosional. Dengan demikian, mahar bukan hanya menjadi simbol nilai materi, tetapi juga mencerminkan aspek tanggung jawab dan kewajiban moral dalam pernikahan.
Menghormati dan Menghargai Wanita
Mahar juga diartikan sebagai bentuk penghargaan dan penghormatan terhadap status wanita dalam Islam. Ini menegaskan bahwa wanita memiliki hak untuk memiliki harta dan memiliki nilai yang tinggi dalam masyarakat. Dengan memandang mahar sebagai wujud penghargaan, Islam menekankan pentingnya menghormati hak-hak wanita dan menjauhkan pandangan bahwa wanita dianggap sebagai objek atau properti.
Menempatkan Wanita pada Derajat yang Mulia
Pemberian mahar juga memiliki dampak signifikan dalam menempatkan wanita pada derajat yang mulia. Dengan mewajibkan mahar, Islam mengakui keberhargaan wanita sebagai individu yang memiliki hak dan kehormatan. Ini menghindarkan pemikiran bahwa pernikahan adalah transaksi sepele. Sebaliknya, menegaskan bahwa pernikahan adalah ikatan yang melibatkan kedua belah pihak secara adil dan penuh tanggung jawab.
Perlindungan Finansial dan Kesejahteraan
Selain aspek-aspek tersebut, mahar juga berfungsi sebagai perlindungan finansial bagi wanita. Pemberian ini memastikan bahwa wanita memiliki hak atas harta yang diberikan oleh suami, dan dapat menggunakannya sesuai dengan kebutuhan dan kesejahteraannya. Ini menunjukkan perhatian Islam terhadap kesejahteraan ekonomi wanita sebagai bagian integral dari hak-haknya dalam pernikahan.
Menghindari Pemberian yang Ringan dan Tidak Serius
Terakhir, mewajibkan mahar juga memiliki tujuan untuk menghindari pemberian yang ringan dan tidak serius dalam perkawinan. Dengan menegaskan nilai dan makna yang terkandung dalam mahar, Islam mendorong pemberian yang bermakna dan memiliki nilai. Sehingga, pernikahan tidak dianggap sebagai transaksi sederhana tanpa nilai moral dan sosial yang mendalam.
Secara keseluruhan, pemberian mahar dalam Islam tidak sekadar menjadi formalitas, melainkan mencerminkan nilai-nilai keadilan, penghargaan, dan tanggung jawab dalam pernikahan. Prinsip-prinsip ini selaras dengan ajaran Islam yang menekankan kesetaraan dan perlindungan hak-hak wanita, membentuk dasar yang kokoh untuk membangun hubungan pernikahan yang seimbang dan bermakna.
Dasar Hukum Pemberian Mahar
Dalam agama Islam, pasangan calon suami istri tentu memahami arti penting dari mahar, atau yang sering juga disebut sebagai mas kawin. Mahar pernikahan merujuk pada sumbangan atau pemberian sejumlah harta yang diberikan oleh pihak mempelai pria atau keluarganya kepada mempelai wanita atau keluarganya pada saat pernikahan. Dalam konteks pernikahan Islam, mahar dianggap sebagai salah satu prasyarat yang diamanahkan oleh Al-Qur’an dan juga hadits.
Seperti yang sudah dijelaskan di atas, bahwa tujuan mahar mengandung makna lebih dari sekadar aspek materi. Mahar menjadi simbol ketaatan terhadap ajaran agama Islam, dan tanggung jawab sosial dalam membangun keluarga. Sejalan dengan prinsip-prinsip agama Islam, pemberian mahar menegaskan bahwa pernikahan bukan sekadar transaksi materi. Melainkan sebuah ikatan sakral yang dijalani dengan penuh rasa tanggung jawab dan pengabdian. Untuk itu, pemberian mahar menjadi wujud nyata dari kesepakatan dan komitmen antara kedua belah pihak untuk menjalani hidup bersama dalam ikatan pernikahan yang sah dan diberkahi oleh Allah.
Sebagaimana Allah SWT dalam surat An-Nisa ayat 4 yang berbunyi,
“Berikanlah mahar (mas kawin) pada wanita yang kamu nikahi sebagai sebuah pemberian dengan penuh kerelaan..”.
Dan juga dalam sebuah hadits yang diriwayatkan oleh Imam al-Bukhari dari Sahl bin Sa’ad as-Sa’idi ra, Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam bersabda,
“..Carilah sesuatu (mahar) cincin sekalipun terbuat dari besi. Jika tidak mendapati, mahar berupa surat-surat al-Qur’an yang engkau hafal.” [HR Bukhari No.1587].
Peruntukkan Mahar atau Mas Kawin
Sebagaimana kutipan surat An-Nisa ayat 4 di atas yang menjelaskan bahwa mas kawin harus diberikan pada wanita yang dinikahi, maka peruntukkan mahar atau mas kawin pun sangat tegas diperintahkan untuk diberikan pada pengantin perempuan atau sang istri. Dalam Pasal 32 Kitab Hukum Acara (KHI) dijelaskan bahwa mahar harus diberikan langsung kepada calon mempelai wanita dan setelah diterima, mahar tersebut menjadi hak pribadinya.
Prinsip ini sejalan dengan nilai-nilai Islam yang menekankan hak-hak perempuan dan keadilan dalam perkawinan. Pemberian mahar secara langsung kepada calon mempelai wanita menekankan pentingnya memberikan hak kepemilikan secara langsung kepada pihak yang berhak menerimanya. Hak pribadi ini mencakup hak perempuan untuk menggunakan maharnya sesuai dengan keinginannya tanpa campur tangan dari pihak lain.
Rujukan lain yang menjadikan acuan bahwa mahar merupakan hak sang istri adalah kutipan dari Imam Ibnu Hazm dalam kitabnya al-Muhalla 9/115 yang berbunyi:
“Tidak halal bagi ayah seorang gadis, baik masih kecil maupun sudah besar, juga ayah seorang janda dan anggota keluarga lainnya, menggunakan sedikit pun dari mahar putri atau keluarganya. Dan tidak sorang pun yang kami sebutkan di atas, berhak untuk memberikan sebagian mahar itu, tidak kepada suami baik yang telah menceraikan ataupun belum (menceraikan), tidak pula kepada yang lainnya. Siapa yang melakukan demikian, maka itu adalah perbuatan yang salah dan tertolak selamanya.”
Dalam konteks yang lebih luas, para ulama menyimpulkan bahwa hak mahar sepenuhnya berada di tangan mempelai perempuan. Artinya, siapapun, termasuk orang tua pengantin wanita, tidak memiliki hak untuk mengambil atau menentukan besaran mahar anaknya tanpa persetujuan dan kerelaan dari sang wanita. Hal ini mencerminkan prinsip keadilan dan perlindungan hak-hak perempuan dalam Islam, serta menegaskan bahwa mahar adalah hak eksklusif yang harus dihormati dan dijaga.
Bolehkah Mahar Istri Digunakan Suami?
Jika ada kondisi dimana seorang wanita atau istri dengan sukarela menyerahkan sebagian dari maharnya kepada suaminya, maka suaminya diperbolehkan untuk menerima mahar atau mas kawin tersebut dengan senang hati. Karena hal tersebut dianggap sebagai tindakan yang sah dalam Islam. Hal ini menunjukkan bahwa mahar bukanlah suatu kewajiban yang mutlak harus dikembalikan sepenuhnya kepada pihak perempuan. Melainkan, dapat menjadi subjek negosiasi dan kesepakatan antara kedua belah pihak.
Sebagaimana merujuk pada prinsip dasar pernikahan dalam Islam, yakni keadilan, persetujuan sukarela, dan rasa hormat terhadap hak-hak individu, maka termasuk didalamnya juga ialah hak mahar. Oleh karena itu, jika sang istri secara sukarela menyetujui atau memberi izin kepada suaminya atau orang tuanya untuk mengambil sebagian dari mahar, hal tersebut dapat dianggap hal yang tidak bertentangan dengan nilai-nilai Islam.
Namun, penting untuk mencatat bahwa dalam prakteknya, kesepakatan mengenai mahar dan bagaimana pembagiannya sebaiknya dilakukan dengan penuh transparansi, kejujuran, dan menghormati keinginan serta hak-hak kedua belah pihak. Tujuan utamanya adalah menjaga prinsip-prinsip keadilan dan persetujuan sukarela dalam pernikahan sesuai dengan ajaran Islam.
Kesimpulannya, mahar yang sebelumnya sudah disepakati bersama antara sang istri dan sang suami merupakan sepenuhnya hak sang istri. Mahar tersebut tidak menjadi hak suami dan juga orang tua baik istri atau suami. Namun jika suatu waktu sang istri ingin memberikan mahar dalam bentuk apapun itu kepada sang suami atau orang tuanya, maka hukumnya diperbolehkan. Asalkan sang istri menerima dengan lapang dada dan ikhlas.