mahar untuk pernikahan

Hati-hati, Ada 6 Kekeliruan Makna Mahar untuk Pernikahan

Salah satu yang menjadi pikiran kaum laki-laki saat memutuskan untuk menikah adalah mengenai mas kawin atau mahar untuk pernikahan. Meski banyak hal yang dipikirkan seperti biaya resepsi, baju pengantin, katering makan, dan lain-lain. Belum lagi adanya tradisi yang mengatur pemberian lain seperti ‘uang hantaran’ dan sejenisnya.

Keadaan ini tentunya menjadi hal yang harus dipikirkan matang-matang. Di satu sisi, pengadaan resepsi hukumnya tidak wajib, tetapi justru lebih memforsir pikiran, tenaga dan materi yang lebih besar. Sementara di sisi lain, ada hak seorang perempuan yang dinikahi, yaitu maskawin atau mahar untuk pernikahan yang hukumnya wajib, justru dipandang ‘enteng. Kali ini kamu perlu tahu 6 hal yang kerap dipahami secara kurang tepat alias keliru mengenai maskawin atau mahar selain yang sudah disebutkan tadi.

6 Kekeliruan Pemahaman Seputar Mahar untuk Pernikahan

Mahar Pernikahan yang Baik dalam Islam - V&CO Jewellery News


1. Mahar Pernikahan bukan Rukun Nikah

Pertama yang harus kamu ketahui, mas kawin atau mahar bukanlah rukun nikah. Tanpa pemberian mahar pun, nikah tetap sah. Mahar adalah kewajiban dalam pernikahan. Sesuatu yang wajib itu belum tentu jadi rukun sahnya akad.
Akad nikah menjadi sebab wajibnya seorang suami memberikan mahar kepada istrinya. Itulah mengapa mahar pada dasarnya boleh dibayar secara berangsur. Namun di Indonesia, telah menegaskan bahwa mahar harus dibayar tunai.

Tentu ketentuan ini lebih ideal. Sebab ada norma lain yang menyiratkan bahwa pernikahan itu dibangun atas dasar kemampuan. Tentu kemampuan yang paling pertama menjadi ukuran adalah kemampuan dalam memberikan mahar.
Meski demikian, kalau ditanyakan hukumnya, maka memang mahar hukumnya wajib dalam akad nikah. Mahar dapat ditentukan bentuk, jenis, dan besarannya dalam ijab kabul, bisa juga tidak. Namun meski tidak disebutkan, suami tetap mengemban kewajiban untuk memberikan mahar kepada istrinya.

2. Mahar Adalah Hak Pribadi Istri, Bukan Keluarganya

Akad nikah secara umum dan mahar secara khusus jangan digunakan sebagai ajang ‘memperkaya’ keluarga. Mahar mutlak milik mempelai wanita. Karenanya, keluarga jangan ikut-ikutan menaikkan jumlah atau besaran mahar. Biasanya yang sibuk mengurus mahar adalah ibunya.

Akibatnya, mempelai pria menjadi berat untuk membayar. Maka dari itu hukum Islam di Indonesia mengatur, bahwa mahar harus berdasarkan kesepakatan kedua mempelai. Prinsip kesederhanaan dan kemudahan dikedepankan secara proporsional.

3. Mahar Jangan Terlalu Mahal dan Jangan Terlalu Murah

Sebagaimana prinsip dari mahar tadi, maka besarnya mahar jangan dibuat terlalu mahal dan jangan pula terlalu murah. Tetapi sedang-sedang saja. Tidak ada standar baku yang bersifat wajib diikuti mengenai hal ini.

4. Mahar Bukan Bingkisan

Ada lagi kebiasaan masyarakat muslim di Indonesia, yang menjadikan mahar dalam bentuk bingkisan uang yang didesain sedemikian rupa dalam figura motif emas nan indah. Di satu sisi, hal ini memang kreatif, namun perlu dipertimbangkan lagi kelayakannya.

Selain itu jumlah uangnya juga kadang disesuaikan dengan tanggal, bulan dan tahun akad nikah. Kebiasaan seperti ini sah-sah saja dilakukan, asal masih menjaga esensi mahar itu sendiri. Esensi mahar itu adalah pemberian berupa barang atau uang yang bernilai harta dan sudah seharusnya dapat dimiliki sebagai kekayaan. Kebiasaan selama ini dengan pola bingkisan uang, nilai intrinsic uang justru berkurang karena yang dihargai justru adalah nilai ekstrinsik berupa kreasi, dekorasi dan estetika.

5. Hindari Seperangkat Alat Sholat sebagai Mahar

Ada pula kebiasaan yang sudah umum dilakukan masyarakat muslim, yaitu menjadikan seperangkat alat sholat sebagai mahar. Ketidaktepatan itu disebabkan beberapa hal: pertama, tidak disebutkan nilainya. Seharusnya dijelaskan berapa nilai seperangkat alat sholat yang menjadi mahar itu. Misalnya, “Aku nikahkan engkau dengan maskawin seperangkat alat sholat senilai sepuluh juta rupiah.”

Kedua, seperangkat alat sholat itu hanya merupakan barang konsumtif biasa, bukan termasuk sebagai barang berharga. Terlebih tidak dijelaskan apa saja yang dimasksud dengan ‘seperangkat alat’ itu. Seperangkat alat sholat lebih tepat diberikan sebagai pemberian biasa saja. Seharusnya jika memang benar-benar ingin memberikan ‘alat sholat’ sebagai mahar, ambil saja satu item, misalnya “satu stel mukena beerbahan sutera seharga lima belas juta.”

6. Jika Suami Meminjam Uang yang Bersumber dari Mahar, itu Bukan Hutang Mahar

Ada asumsi yang tidak tepat mengenai hutang mahar, atau mahar terhutang. Biasanya dalam menjalani kehidupan rumah tangga, suami kerap meminjam uang dari istri atau meminjam barang berharga yang dulu merupakan mahar bagi istri. Di saat bercerai, terjadi tuntutan agar suami mengembalikan hutang mahar.

Ini adalah asumsi yang keliru. Istilah hutang mahar atau mahar terhutang itu adalah mahar yang sudah disebutkan dalam akad nikah, namun belum pernah dibayar oleh suami. Namun jika sudah diberikan pasca ijab kabul, maka saat itu juga mahar itu menjadi hak pribadi. Tidak lagi disebut sebagai mahar. Sehingga jika dipinjam sekalipun oleh suaminya, hubungan hukumnya tetao hutang piutang biasa. Bukan hutang mahar atau mahar terhutang.

Nah itulah enam kekeliruan mengenai mahar untuk pernikahan. Sebelum melangsungkan pernikahan, ada baiknya kamu mencari tahu terlebih dahulu semuanya agar tidak adanya kesalahan ataupun kekeliruan, khususnya tentang mahar ini.

Tinggalkan Komentar

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *